Surau Batu Hampar, Peninggalan Kakeknya Sang Proklamator, dan Tempat Lahirkan Banyak Syekh

ARASYNEWS.COM – Surau Batu Hampar atau dikenal juga dengan surau Buya Amran atau juga surau Al Manaar karena lokasinya berada di tengah-tengah pondok pesantren Al Manaar, Nagari Batu Hampar, di kecamatan Akabiluru di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat.

Batu Hampar dikenal sebagai salah satu sentra pendidikan Islam ala Surau yang terkemuka di Minangkabau. Di daerah ini berdiri sebuah Surau, yang kemudian diidentikkan dengan Surau Batu Hampar, yang merupakan semacam perkampungan bagi urang siak (santri) yang belajar agama.

Paling tidak ada dua hal yang menjadikan Surau Batu Hampar menonjol di antara surau-surau lainnya saat itu. Pertama, pendidikan Al-Qur’an yang ditawarkannya. Surau Batu Hampar ketika itu menjadi pusat pengkaderan para Qari (ahli baca Al-Qur’an). Kedua, Surau Batu Hampar merupakan salah satu pusat Tarekat Naqsyabandiyah dari aliran Sufi.

Sebagai pusat pengkaderan qari, Surau Batu Hampar telah memainkan peran penting dalam menyebarkan ilmu-ilmu yang terkait dengan al-Qur’an, seperti Tajwid, tarannum (lagu al-Qur’an) dan Qira’at. Namun di samping itu, Batu Hampar sebagai pusat tarekat sufi lebih terkemuka, karena pada abad 19 itu Minangkabau terjadi peningkatan aktifitas Tasawuf, yang ditandai dengan populernya ordo Sufi Naqsyabandiyah di dataran tinggi Minangkabau, dan Surau Batu Hampar menjadi salah satu lokus penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah ketika itu. Sebelum kita berbicara mengenai hal tersebut lebih jauh, terlebih dahulu kita akan mengenal fase perkembangan Surau ini.

Surau Batu Hampar, dalam perkembangan sejarah Islam di Minangkabau, merupakan prototipe surau dalam arti lembaga pendidikan Islam yang proporsional. Informasi mengenai Surau ini, aktifitas belajar mengajar, denah lokasi, kurikulum, terbilang apik dan cukup lengkap.

Surau ini didirikan oleh Syekh Abdurrahman (1783-1899), seorang ulama terkemuka di Minangkabau.

Surau ini meninggalkan sejarah panjang penyebaran agama Islam. Surau dan pesantren ini didirikan oleh Syekh Abdurrahman, ulama besar Minangkabau dari Batu Hampar, yakni adalah kakek kandung dari bapak proklamator RI Bunga Hatta dari pihak ayah.

Bung Hatta memang tidak sempat bertemu dengan Syekh Abdurrahman. Saat Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi pada 12 Agustus 1902, Syekh Abdurrahman sudah wafat sekitar tiga tahun. Sang kakek memang berpulang pada 1899, dalam usia lebih dari satu abad.

Meski tak pernah bertemu, kisah kakeknya diterima Bung Hatta dari Syekh Arsyad, anak Syekh Abdurrahman sekaligus saudara sang ayah. Bung Hatta sendiri juga tak sempat mengenal ayahnya Syekh Muhammad Djamil yang meninggal dunia saat Bung Hatta berusia 8 bulan. Makam-makam ini dapat dilihat di daerah Batu Hampar.

Dalam buku yang ditulis Bung Hatta, menceritakan tentang sang kakek, Syekh Abdurrahman. Karena kebesaran kakeknya, menurut Bung Hatta, murid-murid bukan saja datang dari Pulau Sumatera, tetapi juga dari Kalimantan dan Semenanjung Malaka. “Beliau bukan saja seorang guru agama yang besar pengaruhnya, tetapi juga seorang ahli Tarikat Islam. Ia bercita-cita menjadikan Batu Hampar sebagai benteng pertahanan agama Islam, karena penyerbuan bangsa kulit putih ke Minangkabau sudah mendesak umat Islam ke pinggir,” tulis Hatta.

Syekh Abdurrahman Batu Hampar dianugerahi ilmu yang dalam, umur yang panjang dan anugerah kesehatan yang berlimpah. Berbagai literatur menulis, Abdurrahman lahir dari ayah Abdullah gelar Rajo Intan dan ibu Tuo Tungga. Abdurrahman adalah satu-satunya anak yang hidup dari pasangan ini.

Mansur Malik dalam tulisannya di Buku “Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat” (1981) yang diterbitkan Islamic Center Sumatera Barat menyebut, Abdurrahman berkemauan keras, cerdas dan cakap sejak berusia kecil.

Di usia 15 tahun, sekitar tahun 1792, ia minta izin kepada orang tua untuk belajar agama pada Syekh Galogandang di Batusangkar. Bertahun-tahun di sana, kemudian berangkat ke Tapak Tuan, Aceh juga untuk menimba ilmu.

Di Aceh, Abdurrahman belajar pada Syekh Abdur Rauf sekitar 8 tahun, sebelum kemudian memutuskan berangkat ke Mekkah untuk naik haji. Di Mekah ia menuntut ilmu memperdalam pengetahuan agama selama lebih kurang 7 tahun, termasuk suluk dalam Tarekat Naqsyabandiyah di Jabal Abi Qubaysh. Ia pulang ke kampung halamannya sekitar tahun 1846.

Setelah merantau 48 tahun, Syekh Abdurrahman pulang ke Batu Hampar dalam usia 63 tahun. Sesampai di kampung halaman, ia melihat masyarakat yang telah beragama Islam belum menjalankan tuntunan agama sebagaimana mestinya. Judi dan sabung ayam masih menjadi tradisi, surau juga sepi tak berjamaah.

Meski masyarakat ketika itu telah memeluk Islam, namun segala perintah agama belum dijalankan dengan baik. Syekh Abdurrahman melakukan pendekatan secara bertahap dengan bijaksana dan persuasif. Sikap ramah dan pemurahnya adalah modal meraih simpati masyarakat. Hingga sedikit demi sedikit rasa beragama itu ditanamkan kepada umat muslim di sana hingga meramaikan masjid.

Ia kemudian mendirikan surau. Mulai mengajar ilmu tilawatil Qur’an, tuntunan salat dan ilmu tauhid. Namanya makin besar. Murid-murid datang dari berbagai penjuru, di Pulau Sumatera, seperti Riau, Jambi, Palembang, dan Bengkulu hingga ke Malaysia. Rumah penduduk ramai karena diinapi murid-murid Syekh Abdurrahman pada saat itu.

Karena sudah tak muat di rumah penduduk, di areal sekitar 3 hektare Syekh Abdurrahman membangun komplek pemukiman untuk murid-muridnya yang dinamakan kampung dagang, yakni pondok pesantren saat ini. Bangunan utama di bagian tengah, dikelilingi puluhan surau tempat menginap murid-muridnya.

Komplek itu makin lama makin megah, saat dikelola Syekh Arsyad (anak yang menjadi pelanjut Syekh Abdurrahman). Ia mendirikan bangunan utama bergaya timur tengah dengan menara. Berhadapan dengan bangunan itu, Syekh Abdurrahman mendirikan masjid untuk tempat beribadah sekaligus mengajar agama.

“Jumlah murid yang belajar pada Syekh Abdurrahman mencapai 1.000-2.000 orang. Jumlah tertinggi santri yang belajar di komplek tersebut terjadi pada masa Syekh Arsyad yang kemudian menggantikan Syekh Abdurrahman,” tulis Malik.

Santri yang disebut orang siak tersebut belajar tanpa dipungut biaya. Surau hidup dari sumbangan masyarakat, baik yang anaknya belajar di sana maupun tidak.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra dalam “Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di tengah Tantangan Milenium III” menulis, sistem yang dibangun Syekh Abdurrahman merupakan surau besar yang benar-benar mirip pesantren.

Menurutnya, Surau Batu Hampar mewariskan kekayaaan historis keberhasilan sistem pendidikan surau dalam mengembangkan kaum ulama di Minangkabau.

“Sejauh data sejarah yang ada, surau Syekh Abdurrahman di Batu Hampar dapat dikatakan merupakan representasi dari sistem ‘pesantren’ ala Minangkabau. Memang banyak surau lain di Minangkabau pada periode yang sama, tetapi dari segi kelengkapan sarana dan fasilitas, Surau Batu Hampar kelihatannya tetap nomor wahid,” tulis Azyumardi.

Syekh Abdurrahman wafat diakhir abad 19. kepemimpinan Surau Batu Hampar kemudian dipegang oleh anaknya, Syekh Muhammad Arshad, surau Batu Hampar mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Di samping penyempurnaan materi pelajaran, juga diusahakan pembangunan beberapa gedung, seperti menara khas Timur Tengah dan kubah makam. Urang siak dari berbagai daerah semakin ramai belajar agama di Surau Batu Hampar.

Satu kekhasan Surau Batu Hampar, yang masih tetap bertahan hingga saat ini, ialah Suluk Tarekat Naqsyabandiyah. Ini termasuk satu tarekat internasional yang tersebar luas diberbagai negara di dunia. Batu Hampar dapat dicatat sebagai salah satu pusat tarekat tertua di dataran tinggi Minangkabau. Hal ini dapat kita lihat dari aktifitas Syekh Abdurrahman yang dimulai sekitar tahun 1846.

Namun, kita tidak mempunyai cukup data mengenai jalur sanad Syekh Abdurrahman dalam bidang tarekat ini, kecuali selembar ijazah yang dilengkapi cap mahor Shaykh sendiri. Ijazah itu merupakan pemberian Syekh Abdurrahman kepada anaknya Syekh Muhammad Arshad, di tahun 1317 H, yang menurut hisab Arius Syaikhi bertepatan dengan hari senin, 23 oktober 1899, sesaat sebelum Syekh Abdurrahman wafat. Tidak banyak informasi dalam ijazah ini, kecuali berupa wasiat Syekh Abdurrahman serta beberapa do’a tawajjuh.

Dalam tradisi sufi, begitu juga di Batu Hampar, perjalanan ziarah merupakan salah satu aspek penting terkait dengan peningkatan spritualitas. Ziarah, dalam kamus sufi, bukan sekedar mengingat mati, atau menimbulkan rasa takut sehingga menggiatkan amal, lebih dari itu ziarah merupakan satu bentuk upaya mengunjungi guru atau ulama yang telah wafat. Dalam konteks ini, ziarah bisa dimaknai sebagai pengikat rohani antara sufi yang satu dengan sufi yang lain.

Tak jarang, dalam riwayat-riwayat sufi, dalam ritual ziarah terjadi keanehan yang dalam istilah sufi disebut kharij li-al-‘adah (keramat), dimana penziarah bisa bercakap-cakap dengan arwah mayat. Hal ini tidak mengherankan, sebab dalam ilmu tasawuf, ruh seorang mukmin yang bersih, yang tingkat spritualnya tinggi, tetap bisa ber-tasarruf (berkomunikasi) dengan kita di alam dunia.

Tarekat Naqsyabandiyah, sebagai ordo sufi yang banyak dianut di dataran tinggi Minangkabau, menekankan pentingnya mempererat hubungan guru-murid. Hal ini tercermin dari salah satu amalan yang selalu dilanggengkan pengikut suluk, yaitu rabit
Salah satu poin penting dalam yang menjadi amalan sufi ialah tawassul. Secara bahasa tawassul berarti al-taqarrub (mendekatkan diri). Sedangkan menurut istilah syara’ terdapat perbedaan defenisi di kalangan ulama.

Al-Maliki dalam Mafahim-nya menyebutkan aspek penting terkait pengertian tawassul, yaitu salah satu cara berdo’a, satu bagian dari tawajjuh kepada Allah, maka tujuan hakiki permintaan do’a tersebut ialah Allah. Maka al-Mutawassal hanya sebagai wasatah dan wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pemakaian wasatah sebagai wasilah karena kedudukannya sebagai sesuatu yang mulia disisi Allah.

Ketika seorang sufi datang ke makam ulama-ulama saleh, kemudian berdo’a kepada Allah, maka do’anya tersebut didorong oleh karena makam tersebut merupakan makam ulama yang mulia disisi Allah, sehingga barokah dari makam itu menjadi nilai tambah dalam munajatnya. Oleh karenanya, ziarah bagi seorang muslim, terutama sufi, merupakan fenomena penting.

Lebih dari itu, kegiatan safar (perjalanan) ilmiah menjadi salah satu tradisi yang melekat kuat dikalangan tasawuf. Perjalanan ini telah dibarengi dengan perintah Haji, sehingga kegiatan tersebut lebih menjadi bermakna karena digolongkan kepada aspek ibadah.

Abad 17, sebagaimana diutarakan oleh Azra, merupakan gerbang hubungan kosmopolitan dikalangan ulama jawi (baca: Indonesia) dengan Timur Tengah. Jaringan kosmopolitan ini berdampak pada tingginya animo murid-murid dari negeri bawah angin untuk mengembara di Haramain untuk menuntut ilmu, disamping melaksanakan rukun Islam kelima, haji.

Belajar di Haramain telah membawa satu dampak bagi pelajar-pelajar tersebut, karena mereka akan secara tidak langsung terhubung dengan beberapa ulama terkemuka sebelum mereka, terutama yang termasuk dalam jajaran sadat al-sufiyyah. Keadaan ini membuat ruang keilmuan mereka melebar, menjadi kosmopolis, bersifat internasional.

Ruang keilmuan yang terjalin dengan hubungan isnad kemudian membuat pelajar –dalam konteks ini pelajar dari Nusantara- merasa perlu, bahkan menjadi sebuah keabsahan, untuk menziarahi makam-makam pendahulu mereka itu. Apakah dengan tujuan mengikat diri secara rohani, yang dalam istilah sufi disebut rabitah, atau mengambil manfaat berupa barakah.

Henri Chambert-Loar dan Claude Guillot dalam pengantar kumpulan tulisan, Ziarah dan Wali di Dunia Islam (yang merupakan terjemahan dari Le culte des saints dans le monde musulma), yang mereka sunting menekankan bahwa fenomena ziarah bukan saja soal ibadah dan perilaku agama. Selanjutnya mereka menyebutkan, “aspek sosial dan politik juga tidak kurang penting, antara lain melalui peranan berbagai tarekat.”

Kesimpulannya terbukti dengan adanya situs-situs sejarah yang dipelopori oleh tokoh berbagai tarekat. Dalam hal ini, Shaykh Muhammad Arshad Batu Hampar menjadi satu contoh penting. Ia merupakan tokoh terkemuka tarekat Naqsyabandiyah, yang di-ijazah-i oleh ayahnya Syekh Abdurrahman al-Khalidi Batu Hampar.

Ia memimpin surau, sebuah lembaga pendidikan, merangkap tempat latihan rohani (riyadah, atau dikenal dengan zawiyah) hingga wafatnya ditahun 1924. aktifitas ziarah yang terekam dalam catatan perjalanannya menjadi penegas bahwa kesufiannya menjadi dasar kokoh dalam safar-safar ziarahnya itu.

Wafat di usia 122 tahun, Syekh Abdurrahman meninggalkan nama besar karena telah mendidik ribuan orang dengan sistem pendidikan surau yang digagasnya. Beberapa di antara murid Syekh, kemudian menjadi ulama. Mereka adalah ulama besar dan yang berpengaruh luas di abad 20. Di antara murid-murid itu ialah:

  1. Syekh Batubara Andaleh
  2. Syekh Batangkapeh (Pesisir Selatan)
  3. Syekh Yahya al-Khalidi Magek (salah satu soko guru ulama-ulama PERTI)
  4. Syekh Abdurrahman al-Khalidi Kumango (masyhur sebagai ulama sufi dalam Thariqat Sammaniyah dan peletak dasar Silek Kumango)
  5. Syekh Abdullah Halaban
  6. Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus (sufi ternama)
  7. Syekh Muhammad Salim al-Khalidi Bayur Maninjau
  8. Syekh Sulaiman Arrasuli Canduang
  9. dan anak beliau sendiri, Syekh Arsyad (ahli qira’at dan qasidah ternama, memperoleh ijazah tamm dalam ilmu qira’at tujuh dari Syaikh As’ad al-Asyi di Mekkah)

Dan, meski Bung Hatta tak pernah melihatnya, nama Syekh Abdurrahman tetap terbawa, ketika sejarah mematri nama Mohammad Hatta, cucunya, jadi salah seorang proklamator yang memerdekakan negeri ini. []

You May Also Like