ARASYNEWS.COM – Allah berfirman sebagaimana yang tertulis dalam Al-Qur’an surat Al-Kafirun yang artinya orang-orang kafir.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
قُلْ يٰٓاَيُّهَا الْكٰفِرُوْنَ
“Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir!”
لَاۤ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَ
“aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah,”
وَلَاۤ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَاۤ اَعْبُدُ
“dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah,”
وَلَاۤ اَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْ
“dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,”
وَلَاۤ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَاۤ اَعْبُدُ
“dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah.”
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
Surat ini tegas Allah sampaikan kepada umat Muslim terutama dalam hal mengikuti apa yang dilakukan orang-orang kafir. Dan salah satunya adalah dalam perayaan tahun baru Masehi.
Sebagaimana diketahui, perayaan malam tahun baru Masehi merupakan budaya barat atau budaya Eropa. Sebagai umat Islam yang memiliki tahub baru sendiri sebaiknya tidak mengikuti budaya Eropa tersebut. Terlebih banyak hal madharat pada perayaan Tahun Baru yang kebanyakan dilakukan untuk bersenang-senang atau berfoya-foya.
Para ulama juga sepakat bahwa merayakan tahun baru Masehi tidak diperbolehkan. Larangan perayaan malam tahun baru Masehi menurut Islam memiliki sejumlah alasan kuat sehingga umat Islam tidak diperkenankan merayakan tahun baru.
Alasan di antaranya alasan sejarah, tasyabbuh, terompet Yahudi, pemborosan, menyia-nyiakan waktu (Begadang sepanjang malam), ikhtilath, hal-hal haram hingga terjerumus berbuat zina.
Seseorang yang melakukan perayaan tahun baru Masehi yang merupakan budaya barat dianggap tasyabuh atau menyerupai kebiasaan mereka.
Tasyabuh dapat terjerumus ke golongan yang diserupainya sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ,
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka,” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَٱلَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ ٱلزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا۟ بِٱللَّغْوِ مَرُّوا۟ كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan 72)
Oleh sebab itu, tidak boleh seorang Muslim ikut merayakan pergantian tahun ini. Sebab, hari raya (pergantian tahun) merupakan bagian dari agama dan doktrin keyakinan, bukan semata perkara dunia dan hiburan. Meskipun hanya bermain-main tanpa mengikuti ritual keagamaannya, ini termasuk perbuatan yang dilarang. Karena turut mensukseskan acara mereka.
Sebagai contoh hal ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah. Suatu ketika Rasulullah sedang berkunjung ke Madinah, beliau mendapati penduduk Madinah sedang merayakan hari raya Nairuz dan Mihrajan, yakni hari raya orang-orang Majusi.
Kemudian Rasulullah bersabda, di hadapan penduduk Madinah.
“Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan an-Nasa’i)
Penduduk Madinah yang pada saat itu sedang merayakan hari raya Nairuz dan Mihrajan, mereka hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual keagamaan sebagaimana yang dilakukan orang-orang Majusi. Tapi Rasulullah sangat melarang perbuatan mereka ini, dan beliau mengingatkan bahwa hari raya kaum Muslimin adalah hari raya yang telah Allah tetapkan saja.
Oleh karena itu, sudah selayaknya kita sebagai seorang Muslim untuk taat pada apa saja yang telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan. Ketaatan dan ketundukan kita pada Allah dengan tidak merayakan pergantian tahun adalah bentuk perlindungan diri agar tidak terjerumus pada sikap tasyabbuh bil kuffar. []