ARASYNEWS.COM – Pemberian nama suatu tempat adakalanya dilatarbelakangi temuan sesuatu di daerah tersebut pada waktu dahulu. Bahkan juga ada cerita ditengah-tengah masyarakat yang membuat munculnya suatu nama.
Salah satu yang menarik adalah nama suatu daerah di kecamatan Lintau Buo Utara, kabupaten Tanah Datar. Nama daerah ini adalah Nagari Batu Bulek.
Daerah ini terhampar sawah yang luas. Dan juga terdapat beberapa tempat ibadah seperti masjid. Tidak jauh dari lokasi itu terdapat sebidang tanah yang cukup luas yang biasanya dimanfaatkan anak-anak untuk bermain.
Ditempat tersebut terdapat sebuah batu yang lumayan besar ukurannya. Batu itu berbentuk bulat dengan diameter berkisar satu setengah meter.
Pada tapaknya, batu-batu sekepalan tangan ikut mengeliling yang seakan menjadi penyokong untuk menjaga kedudukan batu besar itu agar tidak timpang.
Sedang empat buah batu pipih berukuran lebih dua meter dipasang membujur, memagari batu yang disebut masyarakat sekitar sebagai “Batu Bulek” itu.
Keberadaan batu itu seakan ikut perhatian perkembangan di darah itu.
Dalam keterangan masyarakat setempat, perkembangan wilayah di nagari itu dikenal dengan dua proses.
Yang lertama, batunjam mandaki, luluak dalam mudiak. Yakni Datuak Rajo Suaro kala itu berkedudukan sebagai raja nagari. Ia melakukan pembentukan wilayah baru, yakni gunuang hilia, bendang mudiak. Datuak Rajo Suaro menjelajah daerah ini. Dan dinamai dengan Batu Bulek. Sedangkan di daerah batunjam, Andaleh Baruh Bukik, dicarikan pemimpin pengganti yaitu Datuak Intan Ganti.
Jelas, sebuah wilayah mesti memiliki sumber air sebagai penopang utama kehidupan. Maka diperintahkanlah oleh Datuak Rajo Suaro beberapa orang untuk mencari hulu sumber air.
Perjalanan panjang dilalui orang-orang itu, bahkan sebuah puncak telah mereka daki. Apa dinyana, setiba di atas, rasa lapar menggerayangi lambung mereka. Beras ada dibawa, akan tetapi di mana mau bertanak. Mereka pun berinisiatif untuk menebang betung dan memasak beras dalam buluh bambu. Kemudian salah seorang turun untuk mengambil air barang selekuk. Maka dijemputlah air dari luhak dengan menyandang batang bambu dengan panjang kira-kira tiga setengah ruas yang dikenal dengan sebutan parian. Selepas kemudian, seorang yang meraup air tadi mendaki kembali ke atas. Lalu dicurahkanlah air dari parian ke periuk buluh yang berisi beras untuk kemudian dimasak. Karena pada saat mengalirkan alir air itulayaknya aliran sungai, maka dinamakanlah daerah itu dengan Puncak Sungai Buluah,dalam selingkung daerah Puncak Pato.
Dalam perjalanan kemudian, tatkala menempuh hulu Batang Tampo, utusan tersebut terkejut kala menemukan setumpuk batu.
Batu dalam bentuk-bentuk yang aneh, ada yang bulat dan ada pula yang pipih. Batu bulat berada di tengah-tengah, dikelilingi oleh empat buah batu pipih. Maka berlarilah mereka bersama menyampaikan penemuan itu kepada Datuak Rajo Suaro. Raja nagari itu pun tertarik meninjau batu itu. Dan manakala menyaksikkannya langsung, bukan alang kepalang gembiranya hati Datuak Rajo Suaro melihatnya. Tampak sang raja begitu menyukai batu itu. Dan kelak, daerah penemuan batu tersebut dinamakan Suko Rajo.
Atas dasar itulah Datuak Rajo Suaro menitahkan untuk membawa batu-batu itu. Namun perjalanan yang sulit ditambah dengan bawaan yang besar lagi berat membuat orang-orang itu keletihan. Pun batu itu hanyalah dapat terangkut hingga sebuah daerah, dan di sanalah batu-batu sementara dionggok-yang dalam bahasa setempat disebut diungguak. Konon, nama tempat itu kini termasyhur dengan sebutan Mungguak, daerah sekitaran Alur Tengah.
Dalam sebuah kesepakatan, maka batu-batu itu akan diletakkan di ujung balai-balai pada sebuah daerah yang kemudian dikenal dengan nama Kawai. Sayangnya, sebagian kecil orang-orang di daerah bagian ke bawah Kawai tidak senang akan hal tersebut. Mereka nyata menginginkan batu itu berada dalam wilayah mereka.
Maka, tanpa sepengetahuan yang lain orang-orang di daerah itu berencana akan membawa diam-diam batu itu pada malam harinya. Gerak-gerik mereka berhasil luput tanpa diketahui siapapun. Namun, dalam setengah perjalanan menuju hilir, tepatnya di dekat sebuah kolam besar, yang kemudian nama daerah itu disebut Tabek nan Godang, batu itu tidak dapat bergerak dan tak mampu lagi dipindahkan.
Setibanya pagi hari, kejadian itu pun diketahui oleh masyarakat. Maka keluarlah nada ancaman: “Cubolah awai dek kalian!”(Coba saja kalau berani kalian sentuh!). Konon, dari situlah asal mula daerah itu dinamakan Kawai. Dan, batu itu pun kembali dibawa ke balai-balai adat, tempat semula diletakkan. Dan, ajaibnya batu itu mampu dipindahkan kembali. []
Source. BPCB Sumatera Barat