Masjid Sipisang Berusia Lebih dari 200 Tahun yang Lekat Dengan Cerita Spiritual dan Peperangan

ARASYNEWS.COM – Sebuah bangunan lama berbentuk masjid dapat terlihat di jalan lintas Bukittinggi-Medan atau persisnya di Jorong Sipisang, Nagari Nan Tujuah, Kecamatan Palupuah. Daerah ini berjarak 45 kilometer dari pusat kota Bukittinggi.

Bangunan ini merupakan sebuah masjid tua yang dikenal dengan nama masjid Sipisang. Bangunan ini telah bertahan lebih dari 200 tahun. Dalam catatan BPCB Sumbar, masjid ini didirikan pada tahun 1815 dan rampung pada tahun 1821.

Masjid Sipisang menjadi saksi penyebaran dakwah Islam oleh seorang ulama asal Kumpulan, Pasaman, Sumbar, yang bernama Syekh Ibrahim Kumpulan. Masjid ini didirikan oleh Syekh Ibrahim Kumpulan (1764-1914) yang pada 1818 memanfaatkan masjid ini untuk mendukung kegiatan dakwahnya.

Melihat bangunan masjid ini tidak jauh berbeda dengan model masjid tradisional Minangkabau lainnya, Masjid Sipisang memiliki atap limas berundak-undak dengan sudut lancip. Sudut lancip menghasilkan bentuk atap melengkung yang mirip dengan atap rumah gadang.

Masjid Sipisang di tahun 1930. (Foto: Perpustakaan Foto Digital KITLV, Universitas Leiden, Belanda)

Saat pertama dibangun, masjid memiliki atap dari ijuk. Pada tahun 1920, dilakukan penggantian atap dari bahan ijuk ke seng. Hal itu diketahui dari situs Perpustakaan Foto Digital KITLV milik Universitas Leiden, Belanda

Masjid Sipisang terbuat dari kayu mulai dari tiang, dinding, dan lantai. Seluruh strukturnya saling terhubung dengan menggunakan sistem pasak.

Tiang penyangga bangunan berjumlah 36. Tiang yang terletak di tengah atau disebut tiang macu memiliki diameter sepanjang 2 meter dan tinggi lebih kurang 17 meter. Di sekeliling tiang macu, terdapat 8 tiang. Adapun tiang yang lain terdapat pada dinding bangunan sebanyak 26 tiang dan pada mihrab sebanyak 1 tiang.

Dinding bangunan polos tanpa ukiran. Hiasan di masjid ini tidak banyak, tapi ada hiasan pada bilah kayu di bagian atap. Hiasan yang terdapat atap masjid ini memiliki keunikan, yakni berupa kaligrafi yang dipadupadankan dengan motif sulur-suluran Minangkabau dan motif Aka Cino Sagagang. Kaligrafi tersebut menuliskan kalimat tauhid ‘La Ilaha Illallah’.

Selain itu, tidak jauh dari bangunan masjid terdapat sebuah bedug yang masih asli. Bedug dulunya yang digunakan sebagai tanda masuknya waktu shalat sebelum adanya pengeras suara.

Sejak didirikan 200 tahun yang lalu, tampilan Masjid Sipisang nyaris tak berubah. Masyarakat Sipisang kompak merawat dan menjaga masjid ini agar kekokohan dan kebersihannya tetap terjaga. Hanya saja pernah dilakukan renovasi pada bagian mihrab pada tahun 2005-2006, juga pergantian bagian dinding yang menggunakan lapiah bambu sebelumnya.

Masjid Sipisang dibangun berbentuk persegi dengan ukuran sisinya 12×11 meter. Badan bangunan yang menyerupai pola rumah gadang ‘kuncuik ka bawah kambang ka ateh digabungkan oleh pasak pada setiap kayu penyangga.

Di sebelah Masjid Sipisang saat ini sudah dibangun sebuah masjid baru bernama Masjid Nurul Hikmah. Aktivitas peribadatan secara keseluruhan sudah dipindahkan ke masjid baru. Bukan berarti ditinggalkan, Masjid kayu tersebut saat ini dijadikan sebagai tempat mengaji bagi anak-anak Jorong Sipisang.

Sejarah dan mistis

Keberadaan masjid ini sempat menjadi pusat penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah yang dibawa Syekh Ibrahim Kumpulan saat berkecamuknya perang Paderi di Kabupaten Pasaman (1803-1838) lalu.

Syekh Ibrahim Kumpulan (1764-1914) merupakan seorang ulama Tarekat Naqsyabandiyah yang cukup terpandang di Minangkabau. Pada awal adab ke-19 ia diceritakan kembali berangkat menuju Makkah untuk mendalami ilmunya, dan menetap selama lebih kurang 7 tahun. Setelah itu barulah ia kembali ke kampung halamannya di Kumpulan.

Eksistensi Masjid Sipisang tidak hanya untuk melakukan shalat lima waktu maupun tempat dilangsungkannya aktivitas sosial keagamaan lainnya. Masjid ini juga dijadikan tempat suluk bagi pengikut Tarekat Naqsyabandiyah. Terutama bagi mereka yang berdomisili di daerah tersebut.

Selain Syekh Ibrahim Kumpulan, tokoh lain yang juga terlibat dalam aktivitas keagamaan di Masjid ini adalah Syekh Muhammad Said Al-khalidi Bonjol (1881-1979). Ia disebutkan sebagai ulama yang menerima suluk pengikut Tarekat Naqsyabandiyah di Masjid Sipisang. Sepeninggal Syekh Muhammad Said, aktivitas suluk pun sudah tidak lagi dilakukan di masjid ini, lantaran ketiadaan guru yang akan menerima suluk.

Sejarah awal pembangunan Masjid Sipisang dibangun secara swadaya oleh masyarakat setempat. Syeikh Ibrahim Kumpulan yang ikut membantu Tuanku Imam Bonjol berjuang pada Perang Padri kala itu, juga turut terlibat dalam pembangunan masjid tersebut.

Dalam cerita masyarakat setempat, dahulunya, tiang macu yang digunakan sebagai tonggak pada masjid didatangkan dari rimbo Kelok Madang Jambu, dengan panjang lebih kurang 15 meter.

Kayu tersebut berbunyi seperti suara kerbau dan tidak dapat diangkut padahal ukurannya tidaklah besar. Kemudian Syekh Ibrahim Kumpulan yang sebagai ulama Tarekat Naqsyabandiyah datang ke tempat kayu itu berada, kemudian malacuik (memukul) kayu itu sebanyak 3 kali dengan daun, baru kayu itu dapat dibawa oleh masyarakat ke lokasi pembangunan masjid.

Lalu, disaat pemasangan tonggak macu masyarakat kembali kesulitan dan tidak bisa mengangkat kayu tersebut. Lagi-lagi, Syekh Ibrahim Kumpulan yang juga dikenal dengan Inyiak Linduang Surau Batu Kumpulan kembali datang untuk membantu. Syekh Ibrahim menumpukan tumitnya ke kayu, setelah itu baru masyarakat bisa memasangkan tunggak tuo masjid tersebut.

Cerita spiritual lainnya adalah pernah ada masyarakat yang berkata-kata tidak pantas di dalam masjid, kemudian di malam harinya akan terdengar suara gemuruh dari dalam masjid. []

You May Also Like