Cerita Rakyat Zaman Dahulu Tentang Pamer Kekayaan yang Membawa Kehancuran

ARASYNEWS.COM – Pamer kekayaan atau istilah sekarang ‘flexing’ banyak terlihat di kehidupan nyata dan kehidupan maya di media sosial. Hal ini seakan sudah melekat dan turun temurun.

Pamer bukan hanya dalam hal harta, tetapi juga kehidupan, kesuksesan, keberhasilan, peringkat, pangkat dan jabatan.

Hal ini justru akan menimbulkan kecemburuan sosial dan bisa juga menimbulkan umpatan atau sindiran hingga iri dengki. Dan bahkan juga menimbulkan kesombongan dan merendahkan orang lain, hingga pada keserakahan.

Tentang pamer ini padahal sudah banyak kisah legenda dan cerita rakyat yang disampaikan. Akan tetapi karena memang sudah watak dan perilaku seseorang, hal itu membuatnya merasa lebih baik – lebih benar dan tidak menerima nasihat, sehingga menimbulkan petaka bagi dirinya.

Beberapa diantaranya legenda tentang orang yang pamer kekayaan zaman dahulu sering kali berujung pada hukuman atau kehancuran, seperti Situ Bagendit di Jawa Barat di mana Nyi Endit yang pelit dan kikir tenggelam bersama hartanya, atau kisah Malin Kundang yang tidak mengakui ibunya karena malu akan kekayaannya.

Kisah-kisah ini berfungsi sebagai peringatan agar tidak sombong dan serakah, serta mengajarkan nilai-nilai seperti kerendahan hati dan rasa syukur.

Kisah Situ Bagendit

Merupakan seorang janda kaya bernama Nyi Bagendit terkenal sangat pelit dan congkak. Ia gemar memamerkan harta benda dan menyelenggarakan pesta mewah, namun tidak mau memberi sedekah kepada siapapun, termasuk pengemis yang meminta makanan.

Akibat sifatnya yang kikir dan serakah, ia akhirnya tenggelam bersama rumah dan harta bendanya saat air bah melanda desa, dan kemudian tempat itu menjadi danau yang bernama Situ Bagendit.

Melalui legenda ini, masyarakat diajarkan pentingnya berbagi dengan sesama dan dampak buruk dari keserakahan. Selain itu, kisah ini menjadi warisan budaya yang terus diceritakan dari generasi ke generasi.

Rangkaian kisahnya yakni disebuah desa subur di daerah Garut, Jawa Barat, hiduplah seorang janda kaya raya bernama Nyai Endit. Kekayaannya melimpah, termasuk lumbung padi yang penuh dan harta benda yang tak terhitung.

Namun, kekayaannya tidak membuatnya menjadi orang yang murah hati. Sebaliknya, ia terkenal sebagai sosok yang tamak, pelit, dan sombong.

Penduduk desa hidup dalam kemiskinan, tetapi Nyai Endit tidak pernah peduli. Bahkan, ia memaksa para petani menjual hasil panen dengan harga sangat murah. Nyai Endit lalu menjual kembali hasil panen tersebut dengan harga tinggi.

Penduduk desa membencinya, namun mereka takut melawannya karena kekuasaannya yang besar. Kekikiran dan keangkuhan Nyai Endit membuatnya semakin jauh dari masyarakat.

Suatu ketika, Nyai Endit mengadakan pesta besar di rumahnya untuk memamerkan kekayaannya. Pesta itu penuh dengan makanan lezat, musik, dan hiburan. Penduduk desa hanya bisa melihat dari jauh tanpa diundang.

Di tengah pesta, seorang pengemis tua dengan pakaian lusuh datang ke rumahnya. Pengemis itu memohon makanan karena ia kelaparan. Namun, alih-alih merasa kasihan, Nyai Endit mengusir pengemis tersebut dengan kasar.

“Pergi dari sini! Jangan kotori tempatku!” katanya dengan nada marah. Si pengemis itu tetap memohon, dan kemudian Nyai Endit memanggil penjaga untuk mengusirnya.

Sebelum pergi, pengemis tua itu berkata, “Nyai, ingatlah, keserakahan tidak akan membawa kebaikan. Waktumu akan tiba.”

Keesokan harinya, sebuah kejadian aneh terjadi di tengah desa. Sebuah tongkat kayu besar tiba-tiba muncul tertancap di tanah, menarik perhatian penduduk.

Banyak orang mencoba mencabut tongkat tersebut, tetapi tidak ada yang berhasil. Kejadian ini membuat warga desa semakin bingung.

Tidak lama kemudian, pengemis tua yang sebelumnya diusir oleh Nyai Endit kembali datang ke desa. Dengan mudah, ia mencabut tongkat itu dari tanah. Tiba-tiba, dari lubang bekas tongkat tersebut, air memancar sangat deras.

Aliran air itu tidak berhenti dan mulai membanjiri desa. Penduduk desa panik dan segera menyelamatkan diri.

Ketika air terus naik, penduduk desa berusaha memperingatkan Nyai Endit agar meninggalkan rumahnya.

Namun, ia menolak karena tidak ingin meninggalkan harta bendanya. Ia mencoba menyelamatkan emas, perhiasan, dan lumbung padinya. Sayangnya, usaha tersebut sia-sia. Air yang terus meluap menenggelamkan seluruh desa, termasuk rumah Nyai Endit dan dirinya.

Daerah yang tenggelam tersebut kemudian menjadi sebuah danau yang dikenal sebagai Situ Bagendit.

Nama “Bagendit” berasal dari julukan masyarakat terhadap Nyai Endit, sebagai simbol dari keserakahan dan akibat buruknya.

Kisah legenda ini menjadi pengingat bahwa keserakahan, keangkuhan, dan ketidakpedulian terhadap sesama dapat membawa kehancuran. Dan sebaliknya, kebaikan dan kemurahan hati akan membawa kebahagiaan dan kedamaian.

Pesan Moral dari kisah Situ Bagendit

  1. Keserakahan Membawa Kehancuran
    Kekayaan yang dimiliki tidak selalu membawa kebahagiaan, melainkan menjadi penyebab kehancuran karena sifat tamak, sifat serakah. Selain itu, harta kekayaan yang tidak disertai rasa syukur dan tidak digunakan untuk kebaikan hanya akan membawa malapetaka.
  2. Harta benda tidak dapat menyelamatkan kita dari malapetaka. Melainkan kebaikan hati dan hubungan dengan sesama jauh lebih berharga.
  3. Kesombongan akan harta hanya akan mendatangkan menghancurkannya. Pesannya adalah untuk selalu rendah hati, karena apa yang kita miliki hanyalah titipan yang tidak abadi.
  4. Pentingnya berbagi dan peduli terhadap sesama, terhadap lingkungan untuk menghindari diri dari sifat keburukan.
  5. Bersikap baik kepada sesama akan membawa keberkahan dan menciptakan kehidupan yang damai.
  6. Keadilan akan selalu datang pada waktunya, dan setiap perbuatan kita akan menuai konsekuensinya.
  7. Hidup dengan kesederhanaan dan keberkahan serta selalu bersyukur.

Dengan pesan moral dari dongeng Situ Bagendit, bisa menjadi pengingat akan pentingnya hidup dengan hati yang terbuka, rendah hati, dan penuh empati terhadap orang lain.

[]

You May Also Like