Apakah Masuk Kategori Riba, Begini Penjelasan Penukaran Uang Baru

ARASYNEWS.COM – Jelang lebaran, biasanya di tepi jalan kota marak muncul jasa penukaran uang. Ini juga dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) yang bekerjasama dengan sejumlah bank.

Jasa penukaran uang ini bukan hanya melalui offline secara langsung, tapi dengan kemajuan teknologi juga telah hadir di media sosial.

Memang ada pro kontra mengenai hukum penukaran uang baru ini. Tentang penukaran uang ini dilihat dari sudut pandang yang berbeda.

Pertama, praktik penukaran uang baru yang menjadi objeknya adalah uangnya. Sehingga hal ini bisa menjadi haram karena masuk dalam kategori riba.

Namun, hukum menukar uang baru saat Lebaran boleh-boleh saja menurut Islam jika objeknya adalah jasa orang yang menyediakan uang.

Tarif yang harus dibayarkan saat penukaran uang di pinggir jalan diniatkan untuk membayar jasa, bukan uangnya.

Pembayaran tarif pada jasa itu sendiri disebutkan dalam Al-Qur’an perihal perempuan sebagai penyedia jasa ASI, bukan jual-beli asi seperti keterangan berikut ini.

“Allah berfirman, ‘Bila mereka telah menyusui anakmu, maka berikan upah kepada mereka,’ (Surat At-Thalaq ayat 6). Allah mengaitkan upah di situ dengan aktivitas menyusui, bukan pada asinya,” bunyi keterangan Abu Bakar Al-Hishni dalam kitab Kifayatul Akhyar.

Setelah mengetahui hukum menukar uang baru saat Lebaran, lalu berapa tarif yang wajar dipatok untuk jasa tersebut?

Jadi, pendapat soal tarif jasa penukaran uang baru tidak diatur dalam fiqih. Tarif jasa disesuaikan dengan kesepakatan atau keridhaan antara kedua belah pihak.

Para penyedia jasa penukaran uang umumnya memasang tarif tertentu untuk setiap nominal uang yang ditukarkan. Misalnya, untuk setiap seratus ribu dikenakan jasa 10% atau sepuluh ribu.

Bagaimana hukum penukaran uang baru ini menurut Islam? Apakah penukaran tersebut masuk dalam kategori riba?

Hukum tukar menukar atau barter telah diatur oleh Islam sejak zaman dahulu.

Terdapat beberapa ketentuan yang harus diperhatikan. Yaitu takaran, jenis transaksinya apakah tunai atau non tunai, serta jenis barang yang di tukarkan.

Dalam sebuah hadits dari Abu Sa’id Al Khudri, nabi saw. mengatakan,

“Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, syair (gandum kasar) ditukar dengan syair, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam maka takarannya harus sama dan tunai, siapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah melakukan transaksi riba, baik yang mengambil maupun yang memberinya sama sama berada dalam dosa. (H.R. Ahmad dan Muslim).

Hadits tersebut menjelaskan bahwa tukar menukar barang sejenis (dalam hal ini uang rupiah) nilainya harus sama dan tunai. Jika ada selisih di antaranya maka selesihnya adalah riba. Maka jika hendak tukar menukar uang tidak boleh ada selisihnya.

Sedangkan yang banyak terjadi di masyarakat, konsumen dikenakan biaya tambahan atau potongan dalam transaksi yang menjadikan nilainya tidak sama. Misal, uang pecahan seratus ribu dibayar dengan seratus sepuluh ribu, atau dipotong menjadi sembilan puluh ribu. Jika demikian, selisihnya adalah riba dan hal tersebut diharamkan dalam Islam, yakni riba.

Riba merupakan dosa yang sangat besar. Bahkan Allah SWT dalam Al-Qur’an menantang orang yang memakan riba dengan tantangan perang yang akan terjadi di padang Mahsyar. Nabi Muhammad saw. juga menyebutkan dosa paling kecil dari transaksi riba adalah seperti berzina dengan ibunya, sebagaimana dalam hadits riwayat Hakim.

Sehingga jelaslah jika menukar uang di jasa penukaran uang yang terdapat selisih, hukumnya adalah haram. Adapun jika tukar menukar di lembaga keuangan dan nilainya sama, artinya tidak ada biaya tambahan maupun potongan maka diperbolehkan.

Oleh karena itu, umat muslim harus lebih memperhatikan syariat agar tidak terjerumus riba yang menjadikan niat baik berbagi justru terbakar karena dosa riba.

Selian itu, penjelasan lainnya tentang penukaran uang ini, kalau yang dilihat dari praktik penukaran uang tersebut (ma’qud ‘alaih) adalah uangnya, maka penukaran uang dengan kelebihan jumlah tertentu jelas haram karena praktik ini terbilang kategori riba.

Tetapi kalau yang dilihat dari praktik penukaran uang ini (ma’qud ‘alaih) adalah jasa orang yang menyediakan, maka praktik penukaran uang dengan kelebihan tertentu mubah menurut syariat karena praktik ini terbilang kategori ijarah. Terkait definisi ijarah sendiri diantaranya dijelaskan KH Afifuddin Muhajir dalam Fathul Mujibil Qarib (123):

والإجارة في الحقيقة بيع إلا أنها قابلة للتأقيت وأن المبيع فيها ليست عينا من الأعيان بل منفعة من المنافع إما منفعة عين وإما منفعة عمل

Artinya, “Ijarah (sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (aktivitas).”

Untuk kelebihan uang yang diberikan sebagai upah pemilik jasa sendiri tidak ada ketentuan dalam fiqih, akan tetapi tergantung kesepakatan kedua pihak antara penerima jasa penukaran uang dan pemilik jasa.

Disisi lain, pandangan tentang penukaran uang baru ini dapat dicontohkan di berbagai tempat. Salah satu contoh penukaran uang pecahan besar menjadi pecahan kecil.

Penukaran uang ini tidak masuk kategori riba, karena nilai uang yang ditukar adalah sama.

Sebagai saran, jika memang harus menggunakan jasa pertukaran uang, maka harus diniatkan praktik tersebut sebagai akad ijarah. Sehingga, kelebihan uang yang diberikan bukan termasuk riba, melainkan sebagai bentuk upah atas jasa yang telah diberikan pemilik jasa pertukaran uang tersebut

Semoga apa yang disampaikan ini dapat menjadi pelajaran dan bermanfaat bagi kita semua.

Wallahu A’lam Bishawab.

[]

You May Also Like