
ARASYNEWS.COM – Puncak Pato adalah nama salah satu tempat wisata di Kabupaten Tanah Datar provinsi Sumatera Barat (Sumbar). Lokasinya berada di Nagari Batu Bulek, kecamatan Lintau Buo Utara, Kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat (Sumbar).
Lokasinya berada di daerah ketinggian dan di Puncak Pato ini banyak pohon pinus yang menjadikan wisata ini sangat sejuk dengan pemandangan yang sangat menarik.
Mencapai lokasi ini membutuhkan waktu 1/2 jam perjalanan atau 17 kilometer dari kota Batusangkar atau ibukota kabupaten Tanah Datar.
Di kawasan ini banyak berdiri pohon-pohon pinus dan pemandangan yang terlihat sangat indah dari atas bukit bukit ini, seperti terlihat deretan bukit-bukit, gunung Marapi, hamparan sawah dan ladang, dan pemukiman penduduk, serta disaat cuaca cerah, maka dapat terlihat danau Singkarak.
Dilain sisi, puncak ini menyimpan beberapa saksi bisu peristiwa sejarah Minangkabau yang dikenal dengan Sumpah Satiah Bukit Marapalam atau Sumpah Satie Bukik Marapalam.
Karena itulah, didirikan sebuah monumen bersejarah di puncak bukit Marapalam. Monumen ini adalah bukti dari sejarah dan tanda pengingat satu peristiwa.
Marapalam sendiri dipercayai berasal dari kata ‘marapekalam’ yang artinya meraptatkan atau mengeratkan hubungan. Sedangkan Puncak Pato sendiri berasal dari kata ‘Fakta dan atau Pakta’ , yang berarti perjanjian.
Puncak Pato adalah tempat sebuah peristiwa sejarah yang sangat berpengaruh besar terhadap budaya adat Minangkabau. Ini karena di Puncak Pato ini adalah tempat pencetus Sumpah Satiah Bukit Marapalam yang mana tempat ini di jadikan saksi agar tercapapainya kesepakatan antara kaum agama dan kaum adat Minangkabau.
Yang dicapai dalam kesepakatan tersebut adalah menyatukan antara kaum adat dan kaum agama. Dan hal ini bukanlah suatu hal yang dipertentangkan, dan pencetusan sebuah sumpah Satiah Bukit Marapalam yang bunyinya adalah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” yang artinya adalah Adat yang didasarkan kepada agama Islam dan syari’at didasarkan kepada Al-Qur’an dan Hadist. Dan perjanjian ini masih di pegang erat oleh masyarakat Minangkabau hingga saat sekarang ini.

Sedangkan patung yang didirikan adalah tiga buah patung niniak mamak atau orang yang dituakan dalam adat sebagai momen kesepakatan. Ini juga dengan Tungku Tigo Sajarangan dalam mengenang sejarah tersebut.
Tidak jauh dari patung berdiri juga sebuah bangunan yang beratap tingkat dan berundak dan bergonjong seperti khasnya atap rumah adat Minangkabau.
Kawasan ini telah mendapat pembenahan dan renovasi, terutama untuk akses jalan masuknya. Dan juga telah dikelola dinas pariwisata Kabupaten Tanah Datar bersama masyarakat setempat.

Sejarah Perjanjian Bukit Marapalam
Latar belakang terjadinya perjanjian Bukit Marapalam adalah akibat adanya perang paderi. Perselisihan antara kaum agama, yang dikenal dengan harimau nan salapan, dengan kaum adat. Para ulama minang menganggap bahwa banyak kebiasaan di Minangkabau bertentangan dengan ajaran agama islam.
Selain sistem kekerabatan dan hukum warisan yang sifatnya matrilineal, perjudian, sabung ayam, minuman keras, dan longgarnya penegakan syariat Islam menjadi pemicu utama perlawanan kaum Paderi.
Kemudian meletuslah perang Paderi pada tahun 1803. Keikutsertaan Belanda dalam barisan kaum adat, membuat perang semakin berlarut-larut, bahkan sebenarnya merugikan kaum adat itu sendiri. Hingga akhirnya, muncul kesadaran kaum adat dan kaum Paderi bahwa musuh utama mereka adalah Belanda. Mereka bersatu melawan penjajah. Hingga puncaknya adalah Perjanjian Bukit Marapalam pada tahun 1837.
Isi Perjanjan Bukit Marapalam
Falsafah minang Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah hasil utama yang dilahirkan dan disepakati dalam Sumpah Satie Bukit marapalam. Hal ini menjadi pedoman utama, bagi penegakan hukum, aturanadat dan agama di Minangkabau.
Untuk pelengkap, disepakati bahwa Syarak mangato, Adat mamakai. Maksudnya adalah bahwa panduan utama tetaplah syarak (hukum Islam).
Dampak Perjanjan Bukit Marapalam
Dengan disepakatinya perjanjian bukit marapalam, maka semua aturan-aturan adat Minangkabau disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Hal itu tentunya menghasilkan dampak tertentu, berikut diantaranya.
- Orang Minang haruslah beragama Islam
Sendi adat Minangkabau adalah ajaran Islam, Ia harus mempercayai syarak dan kitabullah, sehingga siapapun yang mengaku sebagai orang minang haruslah beragama Islam.
- Diperbaharuinya Sistem Matrilineal
Satu hal yang sangat bertentangan dalam sistem matrelineal menurut ajaran agama adalah mengenai hukum waris. Warisan diturunkan berdasar garis keturunan ibu (perempuan), sehingga kaum laki-laki sifatnya hanya sebagai penjaga warisan, bukan pemilik.
Setelah perjanjian bukit Marapalam disetujui bahwa yang diturunkan secara matrilineal adalah harta pusaka tinggi. Sedangkan harta pencaharian (ayah) tetap diwariskan sesuai hukum Islam kepada anak-anaknya. Sehingga dengan demikian lelaki pun tetap dapat menerima harta warisan.
- Dilarangnya judi, minuman keras, dan segala bentuk maksiat
Dilarangnya judi, sekaligus melarang segala bentuk kebiasaan yang memfasilitasi perjudian, seperti sabung ayam dan adu kerbau. Selain itu, juga melarang segala bentuk minuman keras dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan hukum Islam. Seperti berdo’a dengan dupa dan kemenyan.
- Menjadikan surau sebagai pusat kegiatan
Untuk menggiatkan penegakan syariat Islam, dijadikanlah surau sebagi pusat kegiatan. Selain pusat kegiatan ibadah, surau menjadi tempat belajar ilmu agama dan pendidikan informal lainnya, seperti silat.
Itulah salah satu sejarah awal masyarakat Minangkabau yang berpegang teguh dan menjadikan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah sebagai falsafah utama kehidupan sehari-hari. []
Source. Dinas Pariwisata Kab Tanah Datar