Misteri Masjid Tua yang Hilang dan Hanya Sisakan Bongkahan Batu

ARASYNEWS.COM – Masjid-masjid tua banyak ditemukan di daerah Sumatera Barat (Sumbar). Masjid-masjid ini berusia lebih dari satu abad dan bahkan ada yang masih mempertahankan bentuk aslinya.

Di kabupaten Tanah Datar, tepatnya di Jorong Galogandang, Nagari Tigo Koto, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumbar, dahulunya pernah berdiri bangunan yang dipergunakan sebagai tempat ibadah umat Islam.

Bangunan masjid berada di tengah areal persawahan yang membentang luas. Akan tetapi, bangunan fisiknya tidak lagi terlihat atau sudah hilang. Yang tersisa hanyalah tapak masjid dan juga gerbang atau gapura masjid. Selain itu juga ada sisa satu bongkahan batu besar yang tampak seperti jirat atau penanda makam.

Masjid ini dikenal dengan nama Masajik Tuo (masjid tua). Dan sisa bangunan masih dijaga dan dirawat masyarakat setempat.

Di area masjid ini berdiri sebatang pohon berukuran besar yakni pohon jambu kaliang.

Dari cerita masyarakat setempat, cerita tentang keberadaan masjid ini telah turun-temurun ratusan tahun di nagari ini. Dan dikatakan sebagai masjid tertua di wilayah ini dan mungkin di Minangkabau. Diperkirakan hilangnya telah ratusan tahun lalu.

Tidak ada yang mengetahui kapan masjid tersebut berdiri dan bagaimana cerita hilang. Demikian juga keterangan dari orang-orang tua di wilayah tersebut.

Dahulunya akses masuk ke kawasan masjid hanyalah jalan setapak dari tanah, dan atas swadaya masyarakat, dibuat akses jalan cor.

Batu yang menyerupai jirat makam itu juga tidak ada yang mengetahui. Dan tidak diketahui pula siapa yang dimakamkan disitu.

Kisah keberadaan Masjid Tuo Galogandang tidak hanya diselimuti misteri, tetapi juga diliputi cerita-cerita yang diluar nalar.

Disebutkan juga, hanya orang-orang tertentu pada masa dahulu yang dapat melihat bangunan masjid Tuo itu.

Orang tersebut, kata dia, melihat masjid saat sedang menunaikan ibadah haji di Makkah.

Kawasan ini memang tidak atau belum masuk dalam catatan
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat. Dan perlu penelitian lebih dalam tentang sejarahnya.

Nagari Galogandang

Untuk diketahui, Galogandang adalah salah satu jorong yang terletak di nagari Tigo Koto, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat, Indonesia.

Jorong Galogandang secara administratif merupakan bagian dari Nagari III Koto, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar. Sebelumnya, Galogandang merupakan sebuah desa, namun sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1979 tentang sistem pemerintahan Desa di Propinsi Sumatera Barat yaitu desa kembali ke Nagari maka Galogandang kembali menjadi sebuah Jorong dari Nagari III Koto.

Galogandang dikenal dengan sentra pengrajin tembikar. Dikenalnya masuk dalam kawasan yang dahulunya pernah ada dan ink dituliskan dalam Kaba Cindua Mato selain Pariangan.

Dikutip dari Wikipedia, masyarakat Galogandang menganggap bahwa nenek moyang mereka berasal dari daerah pusat perkembangan adat Minangkabau yaitu Pariangan. Bahkan, mereka merasa bagian dari daerah Pariangan.

Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa Jorong Galogandang dan Pariangan menganut laras yang sama yaitu Laras Nan Panjang. Laras atau Lareh (yang disebut dalam bahasa Minang) di Minangkabau digunakan untuk menentukan sistem adat dan pemerintahan.

Kelarasan Nan Panjang adalah Kelarasan tertua. Oleh karena itu mereka menjadi daerah istimewa yang ditandai dengan masyarakat yang ada di daerah ini bisa memakai adat atau tata cara yang di anut oleh laras Koto Piliang dan Bodi Caniago.

Jorong Galogandang dahulunya ditemukan oleh sekelompok masyarakat dari Pariangan sewaktu mereka memperluas wilayahnya. Tempat pertama yang didatangi di daerah Galogandang adalah daerah disebelah barat Galogandang yang sekarang merupakan daerah persawahan, dan berbatasan langsung dengan nagari Batu Basa.

Masyarakat dari Pariangan tersebut hidup dan berkembang sampai jumlahnya banyak sehingga lama kelamaan tempatnya tidak cukup lagi, kemudian beberapa orang dari kelompok tersebut pergi mencari tempat pemukiman yang baru. Mereka berpencar-pencar membentuk kelompok sendiri sehingga pengelompokan ini membentuk Nagari tigo (tiga) koto.

Daerah III Koto itu dalam perkembangannya merupakan sebuah nagari yang terdiri dari tigo koto (perkampungan) yakni Padang Luar, Turawan dan Galogandang.

Penamaan dari ketiga daerah tersebut memiliki cerita tersendiri. Disaat terbentuknya Tiga Koto, timbul permasalahan tentang apa nama dari setiap kelompok kemudian dibawa ke dalam rapat kepala suku/penghulu pucuk untuk diadakan permusyawaratan bersama anak nagari.

Pada saat musyawarah berlangsung dimeriahkan oleh atraksi kesenian dengan mengirim perwakilan dari masing-masing daerah. Pada saat acara berlangsung semua masyarakat ketakutan dan berlari meninggalkan arena keramaian terjadi karena ada seekor kerbau yang lepas dari tangan pembantainya, dia menyeruduk kesana kemari sehingga membuat cemas semua masyarakat. Kerbau diusir beramai-ramai dengan berbagai macam cara sehingga lama kelamaan kerbau kepayahan.

Pada suatu tempat, seorang pemimpin rombongan menyerukan “hentakkan padang kalua” (hentakkan pedang keluar), baru kerbau tersebut bisa dibunuh. Kemudian kerbau tersebut dikuliti, diambil dagingnya dan dimasak ditempat permusyawaratan.

Mengingat banyak masyarakat yang hadir, pimpinan menyuruh kumpulkan seluruh daging kerbau yang ada dan menyerukan “atuah tulang rawan” terjadi peristiwa kerbau mengamuk memberikan inspirasi untuk mengabadikan peristiwa tersebut. Tempat diadakan acara berdendang anak nagari yang diiringi dengan bunyi gendang yang “digalo” (ditabuh) diberi nama Galogandang.

Sementara itu tempat kejar mengejar kerbau dengan menghentakkan “padang kalua” dinamakan dengan Padang Lua (Padang Luar) yang berarti pedang yang dikeluarkan dari sarungnya.

Tempat kerbau dikuliti dan diambil dagingnya serta “diatuah tulang rawannya” (mengumpulkan tulang rawan dengan cara mengikatnya pada seutas tali atau lidi) daerah tersebut dinamakan Turawan.

Daerah Galogandang pertama kali ditempati oleh sebuah rombongan yang dipimpin oleh Datuak Kali Bandaro bersama tiga orang Datuak lainnya yaitu Datuak Tanmalik dan Datuak Bijo Kayo. Mereka bersama membangun daerah ini kemudian dianggap sebagai “inyiak” (orang tua nagari) yang dihormati oleh masyarakat sampai sekarang. Masyarakat Galogandang merupakan keturunan langsung dari keempat orang datuak tersebut. Gelar tersebut masih dipakai secara turun temurun sampai sekarang. []

You May Also Like