Khitan Bagi Anak Laki-laki dan Perempuan Menurut Islam

ARASYNEWS.COM – Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman

ثُمَّ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ أَنِ ٱتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَٰهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS. An Nahl : 123).

Khitan adalah proses pengangkatan atau pelepasan kulit yang menutupi ujung penis. Dalam Islam, hukum khitan bagi anak laki-laki adalah wajib. Tujuannya bukan hanya sekadar mematuhi perintah agama, tapi juga untuk menjaga agar tidak terkumpul kotoran di penis, memudahkan untuk kencing, dan agar tidak mengurangi kenikmatan saat bersenggama (Fiqh Sunnah, 1/37).

Ternyata, berkhitan sudah dilakukan bahkan sebelum zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini diterangkan dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ibrahim berkhitan setelah mencapai usia 80 tahun, dan beliau berkhitan dengan Al Qodum.” (HR. Bukhari).

Syaikh Sayid Sabiq mengatakan bahwa Al Qodum yang dimaksud dalam hadis di sini adalah alat untuk memotong kayu (kampak) atau suatu nama daerah di Syam.

Hukum khitan bagi anak laki-laki adalah wajib dalam Islam, dan ditunjukkan dalam dalil berikut:

Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Ibrahim -Al Kholil- berkhitan setelah mencapai usia 80 tahun, dan beliau berkhitan dengan kampak.” (HR. Bukhari).

Hukum khitan bagi anak laki-laki adalah wajib ditunjukkan dalam hadis di atas, di mana berkhitan adalah ajaran dari Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, dan kita juga diperintahkan untuk mengikutinya.

Mazhab Maliki dan Hanafi menilai khitan hukumnya sunnah berdasarkan hadis yang menyatakan: “Khitan adalah sunah bagi pria dan kehormatan bagi perempuan.”

Namun, hadist ini oleh sebagian kalangan dinyatakan sebagai hadist yang lemah, sehingga tidak dapat dijadikan dalil hukum.

Sementara dalam Mazhab Syafi’i mewajibkan khitan bagi kaum laki-laki. Ini didasarkan pada hadist Riwayat Abu Dawud yang menyebutkan bahwa Rasulullah memerintahkan seseorang yang baru masuk Islam agar berkhitan.

Sabda Rasulullah SAW, “Barangsiapa yang masuk Islam, maka berkhitanlah, walaupun sudah besar.” (HR. Harb bin Ismail)

Hal ini jelas bahwa khitan menjadi salah satu identitas menjadi seorang muslim sehingga seorang mualaf (orang yang baru masuk islam) walaupun sudah dewasa namun belum berkhitan dianjurkan untuk berkhitan. Hal ini lebih mendekatkan kepada kebersihan, sehingga tidak tertinggal najis ketika membuang hadas kecil.

Dalam masyarakat kita, khitan biasa dilakukan ketika seseorang masih berusia anak-anak, atau saat masih di sekolah dasar, sekitar usia 6 sampai 10 tahun.

Dari sisi medis, ada banyak manfaat berkhitan, di antaranya mencegah terjadinya penyakit seksual menular, mencegah infeksi saluran kemih, mencegah penyakit pada penis, dan membantu menjaga kesehatan penis.

Khitan sendiri identik dengan umat Islam, karena dalam Islam hukum khitan bagi anak laki-laki adalah hal yang wajib dilakukan. Wajibnya hukum khitan ini sampai-sampai dijadikan sebagai pembeda antara kaum muslimin dengan nasrani.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang laki-laki untuk berkhitan dalam haditsnya, yang artinya,

“Hilangkanlah rambut kekafiran yang ada padamu dan berkhitanlah.” (HR. Abu Daud).

Bagaimana dengan Perempuan?

Hukum khitan bagi anak laki-laki adalah wajib dalam Islam. Tapi, bagaimana dengan kaum perempuan?

Ada berbagai pendapat yang menjelaskan hukum khitan bagi perempuan. Ada yang berkata bahwa wajib hukumnya berkhitan bagi perempuan, dan ada yang berkata bahwa hukum khitan bagi perempuan adalah sunnah, namun tetap dianjurkan.

Dalam hal ini, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya Asy Syarhul Mumthi’ berkata:

“Terdapat perbedaan hukum khitan antara laki-laki dan perempuan. Khitan pada laki-laki terdapat suatu maslahat di dalamnya karena hal ini akan berkaitan dengan syarat sah shalat yaitu thoharoh (bersuci). Jika kulit pada kemaluan yang akan dikhitan tersebut dibiarkan, kencing yang keluar dari lubang ujung kemaluan akan ada yang tersisa dan berkumpul pada tempat tersebut. Hal ini dapat menyebabkan rasa sakit/pedih tatkala bergerak dan jika dipencet/ditekan sedikit akan menyebabkan kencing tersebut keluar sehingga pakaian dapat menjadi najis. Adapun untuk perempuan, tujuan khitan adalah untuk mengurangi syahwatnya. Dan ini adalah suatu bentuk kesempurnaan dan bukanlah dalam rangka untuk menghilangkan gangguan.” (Shohih Fiqh Sunnah, I/99-100 dan Asy Syarhul Mumthi’, I/110).

Khitan bagi perempuan yang ditetapkan oleh madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah yaitu sunat. Dengan berdasarkan sebuah hadits:

أنّ امرأة كانت تختن بالمدينة فقال لها النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم: فإنّ ذلك أحظى للمرأة (رواه ابن داودعن أمّ عطية)

Artinya: “bahwasannya seorang perempuan menghitankan di Madinah maka Nabi SAW., berkata kepadanya; jangan engkau merusak (kelaminnya), karena hal itu merupakan kehormatan bagi perempuan”. (HR. Abu Daud yang bersumber dari Ummi Athiyyah).

Maksud perkataan nabi yang mengatakan; janganlah engkau merusak alat kelamin perempuan itu, bukan melarang mengkhitannya, akan tetapi hanya perintah untuk berhati-hati ketika melaksanakan khitanan itu. Dan hadits tersebut di atas, tidak terdapat unsur kewajiban, kecuali hanya unsur legalitas (pengakuan) nabi saw., terhadap perbuatan perempuan yang mengadakan khitanan di Madinah ketika itu.

Lebih lanjut ditegaskan oleh Mahjudin bahwa khitan perempuan sunah, berdasarkan hal tersebut di atas disertai dengan alasan bahwa tidak ada alat kelamin perempuan yang perlu dibuang untuk kepentingan thaharah. Dan disunahkan bagi perempuan agar khitan hanya sebagai ikatan terhadap ajaran nabi Ibrahim as., bila disanggupinya.

Menurut Ibnu Hajar al-Atsqolani, ada dua pendapat hukum khitan, yaitu;
1) Mengatakan bahwa khitan itu wajib, bagi perempuan. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Syafi’i dan sebagian besar ulama’ madzhabnya.

2) Khitan itu tidak wajib, dapat dinyatakan oleh mayoritas ulama dan sebagian pendapat ulama Syafi’i. ibnu Hajar melanjutkan, bahwa untuk khitan perempuan, dalam madzhab Syafi’i sekalipun, pada prakteknya banyak perbedaan pendapat yang mengatakan khitan wajib untuk perempuan, namun ada juga yang mengatakan ia hanya wajib bagi perempuan yang klentitnya cukup menonjol, seperti para perempuan daerah timur. Bahwa sebagian pendapat madzhab Syafi’i juga ada yang mengatakan bahwa khitan perempuan tidak wajib.

Mahmud Syaltut mengatakan bahwa khitan bagi perempuan, tidak berkaitan secara langsung dengan teks-teks agama karena tidak ada satu hadits shahih yang membicarakan mengenai khitan dan bahwa alasan yang dikemukakan oleh para ulama yang sepakat dengan wajibnya khitan adalah sangat lemah. Fikih hanya mengakomodasi lewat kaidah bahwa melukai anggota tubuh mahluk hidup (seperti khitan) diperbolehkan apabila dengan itu ada kemaslahatan yang diperoleh darinya

Menurut Imam al-Syaukani, dalam hal khitan, ulama’ membagi tiga pendapat, wajib bagi perempuan, sunah bagi perempuan.Wahbah Zuhaili mendefinisikan perbedaan pendapat ulama madzhab tentang hukum khitan dalam ensiklopedi fikihnya sebagaimana berikut: “Khitan perempuan adalah sunah kemuliaan (yang kalau dilaksanakan) disunahkan untuk tidak berlebihan sehingga bibir vaginanya tidak terpotong agar ia tetap mudah merasa kenikmatan jima’ (hubungan seksual), menurut Imam al-Syafi’i, khitan adalah wajib perempuan. Sedangkan Imam Ahmad berkata bahwa khitan adalah suatu kemuliaan bagi perempuan yang biasanya dilakukan di daerah-daerah yang panas.

Tidak ada perintah yang tegas dalam al-Qur’anuntuk melakukan sunat, bagi perempuan. Demikian pula, tidak ada perintah agama agar organ vital perempuan, khususnya klitoris dipotong, dilukai atau dihilangkan. Adapun argument teologis yang sering digunakan oleh kelompok prosunat perempuan bukan berasal dari al-Qur’an, melainkan hanya dilihat dari kitab fikih, dan itupun hanya dilihat dari hadits lemah (dha’if), antara lain hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad Ibnu Hanbal:

حدّثنا سريحٌ حدثنا عبّاد يعني ابن العوّام عن الحجّاج عن أبي المليح بن أُسامة عن أبيه أن النبيّ صلّي الله عليه وسلّم قال الخِتِانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ (رواه أحمد).

Artinya: “Sunat itu dianjurkan untuk laki-laki (sunah), dan hanya merupakan kebolehan (sunat) bagi perempuan” (HR. Ahmad).

Selanjutnya, dalam hadits tersebut dikatakan, sunat perempuan bukanlah anjuran, melainkan sekedar kebolehan, tidak ada konsekuensi hukum sama-sekali.

Walaupun disebutkan dalam hadits, tersebut sebagai suatu kebolehan, namun dalam banyak hadits lain ditegaskan, lalu seorang mau melakukannya, lakukanlah dengan tidak melukai vagina. Misalnya Abu Daud meriwayatkan: “Potong sedikit saja pada kulit atas prepuce atau kulit yang meliputi klitoris, dan jangan potong terlalu dalam (jangan memotong klitoris), agar wajah perempuan lebih bercahaya dan lebih disukai oleh suaminya”.

Bahkan Ahmad Ibnu Hanbal menyampaikan hadits lain yang mengatakan, praktek sunat tidak dilaksanakan pada masa Rasulullah saw.

حدّثنا محمد ابن سلمة الحرّابيّ عن ابن إسحاق يعني محمّدا عن عبيد الله أو عبيد الله بن طلحة بن كريز عن الحسن قال عُعِيَ عثمابن أبي العاصِ إِلي خِتانٍ فَأبَى أنْ يُجِيْبَ فقال إِنَّا كُنَّا لاَ نَأْتِي الخِتَانَ عَلَي عَهْدِ رسول الله عليه وسلّم وَلاَ نُدْعَى لَهُ (رواه أحمد).

Memperhatikan teks hadits Ummu Athiyyah kalaupun ia shahih, mayoritas ulama’ madzhab tidak memahami baik tersurat maupun tersirat. Adalah perintah untuk mengkhitankan anak perempuan. Yang ada hanya tuntunan dan peringatan nabi saw., kepada juru khitan perempuan agar mengkhitan dengan cara yang baik dan tidak merusak. Beliau mendiamkan praktek perempuan berjalan di Madinah, namun disyaratkan dengan jaminan tidak berlebihan, tidak merusak, dan membiarkan sesuatu yang menjadi bagian kenikmatan seksual perempuan ketika berhubungan intim dengan suaminya. Apabila saat ini dijadikan dasar maka khitan bisa menjadi tidak diperkenankan apabila berlebihan, atau ternyata merusak dan tidak memberikan kenikmatan seksual bagi perempuan.

Hadits lain yang mungkin bisa menjadi dasar bagi mewajibkan khitan perempuan adalah yang diriwayatkan oleh al-Zuhri.

عن الزهري قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: من أسلم فليختتين ولوكان كبيرا. (وواه حرب بن إسماعيل).

Artinya: “Dari al-Zahri, dia berkata: Rasulullah saw., berkata: “Barang siapa yang masuk Islam maka berkhitanlah, walau sudah besar” . (HR. Harb bin Sufyan).

Imam al-Syaukani memberikan catatan kepada seluruh teks hadist yang berkaitan dengan kewajiban khitan baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan.

Menurut dasar hukumnya, dalam hal ini hadits nabi, pendapat yang mengatakan bahwa khitan perempuan itu wajib adalah pendapat yang sangat lemah, karena tidak didukung oleh hadits lain, karena redaksi hadits pun tidak mendukung pendapat tersebut. Oleh karena itu, madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali tidak mewajibkan khitan bagi anak perempuan. Dasar hukum mereka hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: الختان سنة للرجال مكرمة للنسآء. (رواه أحمد وبيهقي)

Artinya: Dari Abu Hurairah ra., rasulullah saw., bersabda: “Khitan adalah sunnah bagi laki-laki dan sesuatu yang mulia bagi anak perempuan”. (HR. Ahmad dan al-Baihaqy).

Hadits ini, seperti dikatakan oleh al-Syaiqany, dalam kitab “Nail al-Authar”, diriwayatkan oleh Ahmab bin Hanbal dalam Musnad, dan juga oleh al-Baihaqy, dalam Sunan dari Hajjaj bin Artha’ah seorang Mudallas (orang yang sering mengelirukan hadits-hadits sebuah periwayatan yang mengisyaratkan ketidak shahihan hadits yang diriwayakkannya). Al-Baihaqy sendiri mengatakan bahwa hadits ini dha’if (lemah) dan munqathi’ (terputus).

Dari beberapa pernyataan di atas, maka secara sederhana dapat disimpulkan dasar hukum yang berkaitan dengan khitan perempuan adalah lemah dan tidak sah seperti yang dikatakan oleh Ibnu al-Mundzir, al-Syaukani, Mahmud Syaltut, Sayyid Sabiq, Wahbah al-Zuhaily, Muhammad al-Banna dan Anwar Ahmad. Jika demikian, maka label hukum khitan perempuan yang ada dalam fikih adalah murni. Oleh karena itu, mayoritas ulama madzhab fikih terkait dengan masalah khitan perempuan, lebih memilih kepada predikat “kemuliaan”, tidak wajib, dan bahkan tidak sampai kepada sunnah.Predikat “kemuliaan” dalam hal khitan perempuan secara sederhana difahami sebagai dukungan para ulama kepada khitan perempuan.

Khitan Dalam Pandangan Islam Sesuai Al-Qur’an dan Hadist

Ibnu Qayyim mengatakan, “Khitan adalah nama dari perilaku orang yang sunat. Ia adalah masdar (kata benda) seperti kata ‘Nizal dan Qital’ dinamakan juga tempat berkhitan. Maka ada hadist, “Ketika bertemu dua khitan (kemaluan maksudnya jima’), maka dia harus mandi.” Kalau untuk wanita dinamakan ‘Khifzhon’.

Khitan adalah sunnahnya Nabi Ibrohim dan para nabi setelahnya. Ibnu Qayyim berkata, “Khitan termasuk peringatan yang Allah ujikan kepada Ibrahim kekasih-Nya, dan beliau melaksanakan dan menyempurnakan sehingga dia dijadikan sebagai Imam untuk seluruh manusia. Telah diriwayatkan bahwa beliau yang pertama kali berkhitan seperti yang telah disebutkan. Yang ada dalam shoheh, Ibrahim berkhitan ketika berumur delapan puluh tahun. Dan khitan berlanjut pada para rasul dan para pengikutnya. Sampai Masih (Isa) juga berkhitan. Dan orang Kristen mengakui akan hal itu tidak menolaknya. Sebagaimana mereka juga mengakui keharaman daging babi”. Tuhfatul Al-Maudud, hal. 158-159.

Sementara hikmah khitan bagi wanita, agar seimbang syahwatnya sehingga menjadi pertengahan. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang wanita, adalah agar menyeimbangkan syahwatnya. Karena kalau dia belum dikhitan, maka kuat syahwatnya. Sehingga dikatakan kepada wanita yang belum berkhitan, “Wahai wanita yang belum dikhitan, sesungguhnya wanita yang belum dikhitan itu lebih sering mencari lelaki. Oleh karena itu, didapati kefakiran (kerusakan) pada wanita Tartar dan wanita kulit sawo (asing) lebih banyak dibandingkan dengan wanita muslimah. Kalau terlalu berlebihan ketika meng khitannya, maka syahwatnya lemah, sehingga tidak sempurna keinginan suami. Kalau dipotong tidak berlebihan, maka didapatkan keinginannya (syahwatnya) secara seimbang. Wallahu’alam Majmu’ Al-Fatawa, (21/114).

Terkait dengan banyaknya metode khitan sat ini, dikutip dari Ustadz Ahmad Yani, Lc., MA, bahwa hal itu adalah sah. Seperti metode laser, klem, bipolar, dan lainnya. Metode khitan sah selama memotong Kulup (kulit) yang menutupi ujung dzakar. Kulup itu yang menghambat air seni terbuang semua. Kulup itu masih menyimpan air seni, sehingga kebersihannya tidak maksimal. []

Wallahu Alam

You May Also Like