
ARASYNEWS.COM – Pandemi Covid-19 di Indonesia pada hari ini, Rabu (2/3/2022) tercatat telah tahun kedua. Kasus Covid-19 ditemukan pertama kali di Indonesia pada 2 Maret 2020.
Dengan pandemi ini, kehidupan menjadi jauh berbeda. Aturan yang terus diterapkan hingga kini adalah jaga jarak, memakai masker, dan menjauhi kerumunan. Ini menjadi salah satu kehidupan baru.
Aturan lainnya yang diberlakukan adalah metode pemeriksaan Covid-19 yang dilakukan dengan mendeteksi adanya DNA pada virus adalah metode Polymerase Chain Reaction alias PCR.
Metode ini diklaim sebagai tes yang paling spesifik mendeteksi adanya Covid-19 ketimbang metode lain yang ada, seperti rapid test antibodi dan rapid test antigen.
Aturan PCR menjadi wajib sebagai syarat perjalanan, khususnya pelaku perjalanan udara. Mereka harus menunjukkan hasil tes swab PCR negatif untuk bisa terbang.
Kini, PCR tidak menjadi syarat wajib penerbangan bagi yang sudah divaksin dua dosis. Penumpang dapat menunjukkan hasil negatif dari tes antigen yang berlaku satu hari.
Gonta-ganti harga PCR
Pada awal pandemi Covid-19, harga tes PCR menyentuh harga Rp2,5 juta. Harga PCR tersebut mendapatkan banyak kecaman dan kritikan dari berbagai pihak. Sebab, berdasarkan data di e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), harga reagen, yang merupakan komponen terbesar dari harga tes PCR, berada di kisaran harga ratusan ribu.
Pada Agustus 2020, melalui SE Nomor HK.02.02/I/3713/2020, pemerintah akhirnya menetapkan batasan tarif tertinggi tes PCR seharga Rp900 ribu.
“Batasan tarif tertinggi untuk pemeriksaan RT-PCR termasuk pengambilan swab adalah Rp900.000. Harga itu telah disesuaikan dengan harga reagen di pasaran,” demikian pernyataan dari SE tersebut.
Pada Oktober 2021, harga PCR kembali diturunkan menjadi maksimal Rp275 ribu untuk wilayah Jawa dan Bali, serta maksimal Rp300 ribu untuk luar Jawa dan Bali.
Jubir Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tirmidzi mengatakan bahwa harga PCR turun karena harga reagen juga turun dan memiliki banyak pilihan harga.
“Harga PCR komponennya reagen, bahan habis pakai, dan biaya operasional. Ini karena pilihan reagen juga lebih banyak dan harga juga sudah lebih turun,” kata Nadia pada Oktober 2021 lalu.
Meski beberapa kali mengalami penurunan, harga tes PCR dinilai dapat ditekan menjadi lebih murah lagi. Hal ini dikatakan oleh Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Honesti Basyir dan anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade.
Sementara itu, Wakil Direktur Pendidikan dan Diklit cum Jubir Satgas Covid-19 RS UNS, Tonang Dwi Ardyanto mengatakan alasan harga tes PCR mahal adalah proses tes, alat yang mahal, dan risiko penularan yang tinggi.
“Faktor yang membuat tes PCR begitu mahal yakni ada dua tahapan pemeriksaan PCR yakni ekstraksi dan PCR itu sendiri, reagen-nya mahal, alat-alatnya mahal, harus di lab dengan standar minimal BSL-2, SDM-nya harus terlatih, dan risiko kerja yang tinggi,” kata Tonang, 1 November 2020.
Dugaan Bisnis PCR
Syarat tes PCR untuk perjalanan dan harga yang gonta-ganti ini menyebabkan tudingan adanya bisnis PCR yang mendulang keuntungan.
Majalah Tempo edisi 1 November 2021 mengungkapkan adanya dugaan keterlibatan para pejabat publik dalam bisnis PCR.
Dalam Sapa Indonesia Malam Kompas TV, Redaktur Majalah Tempo Hussein Abri Dongoran mengatakan bahwa beberapa pejabat dan politikus berafiliasi atau memiliki sejumlah perusahaan penyedia tes PCR.
Nama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir pun disebut berada dalam pusaran bisnis PCR tersebut.
Melansir Indonesia Corruption Watch (ICW), Luhut dan Erick terafiliasi dengan PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI), perusahaan yang menjalankan layanan tes PCR.
Luhut diketahui memiliki saham sebanyak 242 lembar di PT GSI melalui dua perusahaannya, yakni PT Toba Sejahtera Tbk (TOBA) dan PT Toba Bumi Energi. Sementara Erick terafiliasi melalui Yayasan Adaro yang berada di bawah PT Adaro Energy Tbk.
ICW juga menduga keuntungan dari layanan tes PCR ini mencapai lebih dari Rp10,46 triliun.
Peneliti ICW, Wana Alamsyah mengatakan bahwa asumsi untung tersebut didapatkan dari perhitungan selisih harga tes PCR lama dengan yang baru, lalu dikalikan dengan jumlah spesimen yang diperiksa dari Oktober 2020 sampai 15 Agustus 2021.
Baik Luhut maupun Erick, keduanya sama-sama membantah tudingan bisnis PCR tersebut. Mereka kompak bilang tidak mengambil keuntungan sama sekali.
Jubir Menko Marves Jodi Mahardi mengatakan bahwa GSI tidak pernah bekerja sama dengan BUMN dan pemerintah. Pembentukan GSI juga tidak bertujuan untuk mendulang untung dan berbisnis.
“(Dugaan) itu sama sekali tidak benar. GSI ini tidak pernah kerjasama dengan BUMN ataupun mendapatkan dana dari pemerintah,” kata Jodi, 1 November 2020 lalu.
Senada, staf khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga juga membantah tudingan tersebut. Dia menjelaskan bahwa Yayasan Adaro yang terafiliasi dengan GSI tidak memiliki peran yang besar karena sahamnya yang kecil.
Selain itu, Erick Thohir juga tidak lagi aktif dalam urusan bisnis di Yayasan Adaro tersebut.
Masalah tak selesai dengan bantahan dua pejabat tersebut. Pada 16 November 2021, Ketua Majelis Jaringan ProDemokrasi (ProDem) Iwan Sumule melaporkan keduanya ke Polda Metro Jaya atas dugaan keterlibatan bisnis PCR.
Luhut dan Erick Thohir diduga melakukan tidak kolusi dan nepotisme melalui keterlibatan bisnis PCR tersebut
Saat ini, kebijakan tarik ulur diterpakan pemerintah. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Indonesia dimulai dari darurat hingga pada level-level.
Dan syarat lainnya dalam aktivitas masyarakat adalah vaksinasi. Yang sebelumnya menyasar tenaga kesehatan, orang-orang yang beresiko tinggi terhadap penularan, lansia hingga pada anak-anak.
Yang mirisnya, vaksinasi ini dikatakan mutlak wajib diterima masyarakat untuk melakukan segala aktifitas. Mulai dari perjalanan, masuk ketempat-tempat tertentu, pengurusan administrasi, hingga pada wajib untuk dapat mengikuti pembelajaran tatap muka. []
Source. Kompas