Surau Tuo Taram, Perkembangan Islam di Limapuluh Kota dan Tersimpan Kitab Bertuliskan Tangan Tahun 1600-an

ARASYNEWS.COM – Surau Tuo Taram merupakan pusat peradaban Islam tertua di Luak Limapuluh, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumbar.

Surau Taram terletak di Jorong Cubadak, Nagari Taram, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat, Indonesia. Menurut sejarah surau ini didirikan pada awal abad ke-17 oleh Syekh Ibrahim Mufti, seorang ulama penyebar Islam di Nagari Taram. Lokasinya berada di dekat Bukit Bulek. Didirikan surau untuk mendukung kegiatan dakwahnya dalam penyebaran Islam.

Syekh Ibrahim Mufti atau memiliki julukan Beliau Keramat. Beliau bukan asal orang Indonesia, melainkan pendatang dari Timur Tengah yang di utus oleh gurunya syekh Ahmad Qusasi di Madinah untuk menyebarkan agama Islam di daerah Bukit Alif, yang kini di kenal Bukik Bulek.

Masyarakat Nagari Taram percaya Syeh Ibrahim Mufti punya peran penting dalam perkembangan Islam di Limapuluh Kota dan berkiprah pada masa kerajaan Pasai di Aceh.

Syekh Ibrahim Mufti yang dikenal luas sebagai Beliau Keramat Taram atau Tuanku Taram adalah ulama kharismatik. Namanya, tidak hanya dikenal di Nagari Taram. Namun, juga melekat di hati jamaah seluruh cabang tarikat (baik naqsabandiyah ataupun syatariah) yang ada di Sumbar, Riau, bahkan Malaysia.

Karomah yang di miliki Syekh Ibrahim Mufti diyakini tak tanggung-tanggung, masyarakat percaya bahwa Syekh bisa menghilang dan berpindah ke suatu tempat.

Syekh Ibrahim mendirikan Surau Tuo untuk ibadah dan dakwah. Surau ini menjadi pusat penyebaran agama Islam di Luak Limapuluh kabupaten Limapuluh Kota, Payakumbuh, hingga ke Kampar Riau.

Surau Tuo Taram pernah menjadi sentral Tarekat Naqsyabandiyah di Lima Puluh Kota. AWP. Verkerk Pistorius dalam artikelnya di Tijdschrift voor Nederlandsch-Indiƫ pada tahun 1868 menyebut surau ini dihadiri oleh sekitar 1.000 murid dalam setahun. Di sekitar Surau Taram, juga terdapat surau tempat mengajar Syekh Taram dan Syekh Sungai Ameh.

Surau ini dahulunya pernah digunakan sebagai tempat ibadah suluk. Saat ini, Surau Taram digunakan untuk aktivitas ibadah terbatas seiring dengan kehadiran masjid, yakni Masjid Baitul Qiramah di sebelah barat surau.

Syekh Ibrahim Mufti dipandang oleh penduduk setempat sebagai orang yang memiliki karamah sehingga dijuluki Beliau Keramat. Makamnya terdapat di kompleks surau dan menjadi tujuan ziarah, terutama tanggal 27 Rajab. Penziarah datang dari berbagai daerah di Minangkabau baik dari pengikut Tarekat Naqsyabandiyah maupun Tarekat Syattariyah. Selain makam Syekh Ibrahim Mufti, terdapat makam Syekh Muhammad Nurdin di kompleks surau.

Sejak didirikan, Surau Taram tercatat telah mengalami sejumlah perbaikan. Bangunan surau yang berdiri saat ini merupakan hasil pemugaran dengan tetap mempertahankan bentuk arsitektur asli.

Surau Tuo ini sudah sangat tua dan pernah mengalami kebakaran pada abad ke 19, kemudian pada tahun 1994 surau ini dipugar kembali pada beberapa bagian, sebuah ukiran bunga mawar masih terpahat di salah satu pilar surau dan masih asli peninggalan zaman dahulu.

Bukan hanya itu saja, peninggalan lainnya yang ada adalah tongkat yang berukuran hampir 2 meter, sebuah ember yang terbuat dari kuningan, dan kitab bertulisan tangan. Benda peninggalan syeh Ibrahim Mufti ini berada di rumah anak-anaknya yang tak jauh dari surau.

Surau Tuo tampak surau itu di topang oleh 13 pilar, di tengah bangunan ada pilar bundar yang terpaku di atasnya foto benda-benda peninggalan Syeh Ibrahim Mufti.

Selain itu, masih di kawasan area Surau, terdapat makam Syeh Ibrahim Mufti yang berada disebuah bangunan tua samping surau tersebut. Terdapat papan bertuliskan Makam Syekh Ibrahim Mufti dan adiknya Syekh Muhammad Nurdin pada bangunan.

Di dalam bangunan yang mirip masjid itu terdapat dua makam yakni makam Syekh Ibrahim Mufti dan Syekh Muhammad Nurdin yang ditutupi kelambu.

Setelah menelusuri ke balik kelambu itu kita akan melihat 2 makam yang sudah dipasang keramik. Sebelah kiri adalah makam Syekh Ibrahim Mufti dan Sebelah kanan adalah Makam Syekh Muhammad Nurdin. Makam ini sering didatangi peziarah dan juga turunan keluarga

Kini Surau Tuo dikelola oleh 7 pasukuan secara bergiliran yang ada di Nagari Taram yaitu Suku Pitopang, Melayu, Sumpadang, Simabur, Bodi, Piliang Gadang, Piliang Laweh.

Surau Taram tercatat sebagai surau yang memiliki tradisi menulis dan menyalin naskah. Sedikitnya seratus koleksi naskah diperkirakan ada di sini, tetapi sebagian besar kini telah hilang. Hanya 14 naskah yang masih tersimpan, sepuluh di antaranya berada dalam kondisi yang sangat buruk. Sebagian naskah disimpan oleh Ramli Datuak Marajo Basa, keturunan ke-13 dari Ibrahim Mufti.

Ramli Datuak Marajo Basa, meyakini Syekh Ibrahim Mufti berasal dari Palestina, Timur Tengah. Ramli memperkirakan Syekh Ibrahim Mufti datang ke Taram pada tahun 1600-an atau abad 17. Sebab, Syekh Abdurrauf Singkil yang berasal dari Persia atau Arabia datang ke Aceh pada tahun 1663 Masehi atau 1024 Hijriah. Tapi belum ada yang tahu kapan Syekh Ibrahim Mufri lahir dan tahun berapa wafatnya.

Menurut Ramli Datuak Marajo Basa yang mewarisi sejarah Syekh Ibrahim Mufti dari ayahnya Ramsyah Datuak Bagindo Simarajo Nan Panjang, Syekh Ibrahim Mufti begitu datang dari Timur Tengah, tidak langsung menuju Nagari Taram. Namun, sempat singgah dulu di wilayah Siak, Provinsi Riau. Beliau datang Syekh Abdurrauf Singkil. Selain berdagang juga menyiarkan agama Islam.

Disebutkan, selama tinggal di Taram Syekh Ibrahim Mufti memiliki dua istri. Dengan istri pertamanya dari Suku Piliang Loweh, ia memiliki satu keturunan yakni Syekh Muhammad Nurdin yang makamnya juga berada di samping Surau Tuo Taram.
Sedangkan dengan istri keduanya dari Suku Bodi, Syekh Ibrahim Mufti juga punya satu keturunan, yakni Syekh Muhammad Jamil yang meninggal di Bengkalis, Riau, saat mencari ayahnya.

Konon, menurut cerita yang diyakini warga Nagari Taram, Syekh Ibrahim Mufti memang pernah menghilang. Sehingga, membuat anak dan murid-muridnya menjadi khawatir. Saat itulah, salah satu anaknya yakni Syekh Muhammad Jamil mencari Syekh Ibrahim Mufti ke wilayah Bengkalis, Provinsi Riau. Tapi sang anak, meninggal dalam pencarian tersebut.

Petunjuk disampaikan melalui mimpi kepada salah satu muridnya. Dalam mimpi itu, Syekh Ibrahim Mufti berpesan kepada muridnya, jika ingin mencari saya, maka lihatlah cahaya pada malam 27 Rajab. Di mana ada cahaya itu, disitulah kubur saya.

Singkat cerita, pada malam 27 Rajab yang ditunggu-tunggu itu, salah seorang murid Syekh Ibrahim Mufti melihat ada cahaya dari bumi yang tembus ke atas langit. Begitu dilihat, ternyata cahaya itu bersumber dari sebuah tanah yang berada tidak jauh dari kaki Bukik Bulek (Bukit Bulat) Nagari Taram.

Sejak itu, murid-murid Syekh Ibrahim Mufti dan masyarakat yakin, kuburan yang terlihat tersebut adalah makam Syekh Ibrahim Mufti yang sebelumnya menghilang.

Sarat cerita keramat kisah tentang Syekh Ibrahim Mufti yang makamnya hanya diketahui lewat cahaya ini, tidak mengherankan bagi masyarakat Taram. Apalagi bagi ulama tareqat di Minangkabau. Sebab, riwayat hidup Syekh Ibrahim Mufti, memang sarat dengan cerita keramat.

Salah satunya kisah hidupnya yang pernah diceritakan adalah Syekh Ibrahim Mufti yang tiba-tiba menghilang dan pergi memadamkan api yang membakar Mekkah. Padahal pada saat itu rambutnya baru separo dicukur.

Selian itu, wilayah Taram yang dulunya gersang mulai berubah menjadi subur dan dialiri banyak air. Hal ini berubah secara perlahan setelah Syekh menancapkan tongkatnya. Saat itu, Syekh Ibrahim Mufti menancapkan ujung tongkatnya ke dalam tanah, lalu dihelanya tongkat itu sambil berjalan ke arah timur. Tanah kering yang tergerus tongkat Syekh Ibrahim seketika lembab, basah dan dialiri air yang datang entah dari mana.
Sesampai di ujung paling timur, Syekh berhenti. Dibiarkannya tongkat itu tertancap. Lebih dalam dari tancapan pertama. Kelak, titik tempat beliau berhenti ini dinamai Kapalo Banda. Itulah mata air pertama di Taram yang kini menjadi objek wisata.

Quran Tulisan Tangan menjadi sarat dengan kisah Syekh Ibrahim Mufti. Warga Nagari Taram meyakini masih ada peninggalan benda-benda yang pernah digunakan beliau. Seperti, sebilah tongkat dan sebuah bejana atau ember berbahan kuningan yang dapat ditemukan di rumah keluarga keturunan Syekh di Taram. Selain itu juga menitipkan setumpuk kitab (naskah) berbahasa Arab dan berbahasa Arab Melayu.

Untuk kitab-kitab atau naskah peninggalan Syekh Ibrahim Mufti ini, kondisi tulisannya sebagian memang mulai ada yang memudar. Kertasnya juga mulai ada yang lusuh. Tapi, masih tetap bisa dibaca. []

You May Also Like