
ARASYNEWS.COM – Kita mungkin jarang mendengar kata Eksklusivisme. Paham ini berarti mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya sendir dibandingkan orang atau kelompok lain.
Dampak eksklusivisme dalam agama antara lain adalah: Memandang bahwa ajaran agama yang dipeluknya adalah yang paling benar, sedangkan agama lain sesat; Memandang bahwa pemeluk agama lain wajib dikikis, atau dikonversi; Memandang bahwa agama dan penganutnya terkutuk dalam pandangan Tuhan; Memandang bahwa agama Islam adalah satu-satunya agama yang sah; Memandang bahwa Islam ingin memaksakan keyakinan dan cara hidupnya kepada semua non-Muslim
Eksklusivisme dalam Islam adalah pandangan yang menganggap bahwa hanya aliran eksklusivisme-lah yang benar, sedangkan aliran lain salah. Pandangan ini dapat memunculkan sikap intoleransi terhadap pemeluk agama lain.
Sebagaimana diketahui bahwa Al-Qur’an memberikan aturan dan jalan yang terang untuk tiap-tiap umat; Al-Qur’an menekankan kerukunan; Al-Qur’an tidak memberikan paksaan kepada non muslim untuk keluar dari keyakinannya;
Ajaran Islam yang sebenarnya adalah menekankan kerukunan dan tidak memberikan paksaan kepada non muslim untuk keluar dari keyakinannya.
Umat Islam seyogyanya menghindari eksklusivisme
Sementara itu, dampak negatif yang ditimbulkan dari paham ini dalam bernegara.atau bermasyarakat, antara lain: Memicu potensi konflik antara kebudayaan suku-suku bangsa; Menghambat modernisasi dan proses pembangunan; Menghambat hubungan antarbangsa; Mengurangi bahkan menghilangkan objektivitas ilmu pengetahuan; Menyebabkan terjadinya diskriminasi; Membangkitkan prasangka buruk; dan Memicu permusuhan antara satu golongan dan golongan lain.
Salah satu contoh yang nyata yang terjadi saat ini adalah tentang diberlakukannya aturan UU TNI dan RUU Polri di Indonesia. Aturan baru ini seakan memihak golongan tertentu. Sementara itu aturan ini tidak seiring dengan sanksi yang akan diterapkan. Maka dari itu mendapat protes.
Padahal larangan masuknya TNI dan Polri mengisi jabatan di pemerintahan dahulunya pernah dilarang secara tegas oleh presiden RI pertama.
Tentang eksklusivisme Itu juga pernah disampaikan Presiden KH Abdurrahman Wahid, yang secara tersirat menyampaikan umat Islam lebih menekankan pada agenda nasional bagi kepentingan semua kelompok masyarakat, termasuk minoritas dan non-pribumi. Hal ini akan meningkatkan perlakuan yang menguntungkan dari pemerintah dan kelompok lain kepada umat Islam dalam memperjuangkan demokrasi, hak asasi, pembangunan hukum (rule of law), kebebasan berpendapat dan kebebasan berkumpul.
Eksklusivisme dasar dari Ekstremism, Diskriminatif, dan Radikalisme
Ciri-ciri kelompok dari eksklusivisme ini biasanya tertutup dan ketidakmauan untuk mendengar pendapat orang lain yang mungkin memiliki pemahaman berbeda.
Dulu, Imam al-Ghazali pernah mengingatkan akan bahaya dari model pemahaman ini. Beliau menyampaikan bahwa paham tertutup muncul akibat kekaguman seorang individu dengan pendapatnya sendiri yang sebenarnya salah (al-ujb bi al-ra’yi al-khatha).
Model pemahaman seperti ini pula yang menyebabkan umat-umat terdahulu terpecah-pecah menjadi beberapa golongan.
Allah SWT di dalam Surat Al-Kahfi [18] ayat 104 secara tersirat menggambarkannya:
اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا
Artinya, “(Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya.” (QS Al-Kahfi [18] : 104)
Tidak ada solusi lain untuk mengatasi model pemahaman keagamaan seperti ini, melainkan dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadist serta Sunnah Nabi.
Terkadang pemahaman tertutup berakibat dari pikiran masing-masing untuk kepentingan masing-masing, bahwa jika tidak berdasarkan Al-Qur’an dan al-Hadist, maka tidak diterima.
Padahal, para ulama hadir dan menuliskan karya mereka adalah juga berangkat dari hukum berupa Al-Qur’an dan al-Hadits. Aktivitas ulama ini disebut dengan istilah istinbath, yaitu suatu proses pengambilan hukum dengan berangkat dari dalil asal berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hasil dari istinbath ini kemudian hadir dalam bentuk produk ijtihad, yang kemudian kita kenal sebagai ilmu fiqih. Hukum yang muncul adalah hasil dari pemahaman, dan bukan semata berupa tulisan lepas atau pikiran yang tidak berdasar.
Al-Syathibi membagi pola istinbath para ulama ini menjadi tiga, yaitu:
- Takhrijul al-ashli mina al-ashl, yaitu mengeluarkan dalil asal dari sumber pokok (Al-Qur’an dan al-Hadits). Sebuah contoh misalnya adalah hukum asal semua mu’amalah adalah boleh kecuali ada dalil yang menunjukkan larangannya. Itulah sebabnya, maka riba hukumnya adalah haram disebabkan karena dalil Al-Qur’an menyebut secara jelas akan poin larangan tersebut.
- Takhriju al-furu’ mina al-ashli, yaitu proses mengeluarkan hukum cabang dengan berpedoman pada dalil asal. Misalnya, bunga bank. Bunga bank adalah masalah furu’, disebabkan karena ia adalah masalah baru dan tidak pernah ada di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, jika ingin mengetahui hukumnya secara detail, maka dibutuhkan penelitian terhadap konsepsi bunga itu seperti apa, kemudian disesuaikan dengan qaidah yang sudah disepakati tentang riba. Jika benar menunjukkan ciri sebagaimana riba, maka bunga bank diputus sebagai riba. Namun, jika tidak menunjukkan ciri sebagai riba, maka tidak boleh memaksakan diri menghukumi bunga bank sebagai riba. Ini adalah kunci memahami teks.
- Takhriju al-furu’ mina al-furu’, yaitu proses menghadirkan hukum cabang, dengan berbekal pemahaman terhadap dalil cabang yang sudah disepakati oleh ulama terdahulu dan terbukukan dengan lengkap. Terbukukan ini juga merupakan kunci, karena jika tidak, maka semua pendapat mengenai hukum terbaru hanya akan berbekal qila wa qala (debat tidak ada ujungnya dan tidak ada standart yang dipergunakan). Istilah qila wa qala ini merupakan bagian yang dilarang oleh Nabi shallahu ‘alaihi wasallam. Praktik dari penggalian hukum semacam ini adalah kita perlu membuka kitab-kitab fiqih yang sudah dikodifikasikan (tadwin) oleh para ulama.
Tanpa melalui ketiga proses tersebut maka dapat muncul dan lahirnya generasi yang hanya bermodalkan semangat yang menggebu-gebu dalam beragama, namun tidak terdidik oleh pemahaman ulama sebelumnya yang sudah terkodifikasi.
Akibatnya mereka menjadi sosok yang tekstualis dalam memahami nash. Yang bahaya kemudian adalah mengarahkan nash mengikuti seruan kepentingan dan hawa nafsu. Contoh misalnya pemahaman Sayyid Quthub, yang berpendapat :
إن وجود هذا الدين هو وجود حاكمية الله . فإذا انتفى هذا الأصل انتفى وجود هذا الدين
Artinya, “Sesungguhnya eksistensi agama ini bergantung pada adanya hâkimiyyah (tegaknya konstitusi Islam secara formal). Ketika asal ini hilang, maka hilang pula eksistensi agama.” (Sayyid Quthb, Fi Zhilāl al-Qur’an, (Kairo: Dãr al-Syurüq, 1412 H), jilid 3, halaman 12)
Secara tidak langsung, Sayyid Quthub sudah menetapkan bahwa hakimiyyah adalah Islam itu sendiri. Ini adalah sebuah kesalahan yang fatal dalam konteks ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah. Inti dari hakimiyyah itu sendiri sebagaimana yang disampaikan dia dalam kitab tafsirnya Fi Dzilali Al-Qur’an sebagai berikut:
إنما المؤمنون الذين إذا ذكر اللّه وجلت قلوبهم فأدوا فرائضه . وإذا تليت عليهم آياته زادتهم إيماناً يقول:زادتهم تصديقاً ، وعلى ربهم يتوكلون يقول:لا يرجون غيره وسنرى من طبيعة هذه الصفات أنه لا يمكن أن يقوم بدونها الإيمان أصلاً ؛ وأن الأمر فيها ليس أمر كمال الإيمان أو نقصه ؛ إنما هو أمر وجود الإيمان أو عدمه
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah kaum yang ketika disebut Allah, maka hatinya tergerak lalu menunaikan kewajiban-kewajibannya. Dan ketika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka imannya semakin bertambah, (bertambah dalam membenarkan), lalu kepada Tuhannya mereka memasrahkan diri (tidak menghendaki yang selainnya). Kami (Sayyid Quthub) akan jelaskan mengenai beberapa watak dari sifat-sifat ini. Karena sesunguhnya keimanan itu tidak akan tegak sama sekali tanpanya. Perintah ini bukan sekadar persoalan sempurna atau tidaknya iman, melainkan persoalan ada atau tidaknya iman.” (Sayyid Quthb, Fi Zhilāl al-Qur’an, [Kairo: Dãr al-Syurüq, 1412 H], jilid 3, halaman 86).
Pernyataan Sayyid Quthub ini memberikan penekanan, bahwa tanpa hakimiyyah, seseorang tidak bisa disebut beriman (yang berarti kafir). Pemahaman semacam inilah yang merupakan akar dari pemahaman radikal. Awalnya adalah melakukan takfir (vonis kafir) sebagaimana yang pernah diperankan oleh kaum Khawarij di awal perpecahan umat Islam terdahulu yang berujung pada mengkafirkan Sayyidina Ali dan Muawiyah ibn Abi Sofyan yang sudah melakukan perjanjian Daumatu al-Jandal. Sayyid Quthub menolak bahwa nash syariah juga memiliki konsep ‘adamu al-haraj (ketiadaan memberatkan), rukhshah (dispensasi), dlarurah, dan lain sebagainya.
Penafian terhadap konsep-konsep terakhir adalah cikal bakal dari radikalisme. Sebuah pemahaman yang tertutup dari melihat situasi.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
[]
Sc. NU, Kumparan, Wikipedia