ARASYNEWS.COM – Ada empat jenis hewan yang boleh diqurbankan dalam hari raya qurban, yakni unta, sapi atau kerbau, kambing, dan domba. Untuk kerbau, jarang ditemukan umat Muslim yang lakukan penyembelihan di berbagai daerah di Indonesia, malahan lebih banyak menyembelih sapi untuk qurban.
Hewan yang satu ini memiliki bobot lebih dari sapi, dan biasanya kerap digunakan untuk membajak sawah ataupun ladang pertanian.
Beberapa daerah di Indonesia, menganggap hewan ternak yang satu ini sebagai penanda status sosial. Akan tetapi ada juga beberapa daerah yang menganggap sapi-lah sebagai penanda dan dianggap keramat, seperti di Bali.
Hewan ternak kerbau ini juga dianggap sakral dan lekat dengan mitos bagi beberapa daerah di Indonesia, diantaranya adalah di Toraja, Banten, Solo, dan Minangkabau.
Toraja
Kerbau atau dalam bahasa setempat tedong atau karembau, tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja (Nooy-Palm, 2003).
Bagi etnis Toraja di Pulau Sulawesi, Indonesia, kerbau juga dianggap binatang paling penting dalam kehidupan sosial mereka.
Di daerah ini, kerbau selain sebagai hewan untuk memenuhi kebutuhan hidup sosial, ritual maupun kepercayaan tradisional, kerbau juga menjadi alat takaran status sosial, serta transaksi. Dari sisi sosial, kerbau merupakan harta yang bernilai tinggi bagi pemiliknya.
Kondisi semacam ini bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja, misalnya ketika hendak mengadakan pesta atau dalam praktik keagamaan.
Kerbau juga sering dipakai sebagai alat transaksi dalam usaha pertanian atau ritual budaya masyarakat setempat. Misalnya dalam pesta rambu tuka’ maupun rambu solo’. Laga adu kerbau pada pesta-pesta kematian menjadi ritual pembuka, dan menjadi daya tarik bagi masyarakat setempat.
Sedemikian pentingnya, di Toraja kerbau mendapat perlakuan istimewa, bahkan sampai mendapat sebutan dan gelar beragam.
Banten
Di daerah Banten, kerbau dianggap keramat, yakni kebo dungkul. Konon, kerbau ini yang sepasang tanduknya menggantung itu dianggap memiliki tuah bagi masyarakat Banten.
Apalagi kebo dungkul kalung, yang tanduknya sampai melingkar dan kedua ujungnya bertemu simetris di bagian bawah leher, selain kerbaunya sendiri dianggap keramat, air seninya pun bisa dijadikan semacam obat bagi penyakit tertentu.
Di Banten, kerbau juga bisa dijadikan sebagai lambang status sosial masyarakat, misalnya dijadikan sebagai mas kawin.
Keraton Solo
Tentang kerbau di daerah ini berawal dari kisah kerbau milik kyai Slamet di Keraton Surakarta. Pada setiap malam 1 suro atau setiap malam tahun baru Hijriyah (1 Muharam) kerbau diarak keliling benteng keraton.
Kerbau milik kyai Slamet ini merupakan hewan kesayangan Paku Buwana (sawargi) dan dianggao keramat. Saat kirab, biasanya di belakang Kiai Slamet adalah barisan abdi dalem keraton yang membawa benda pusaka keraton. Kemudian di belakangnya lagi diikuti masyarakat setempat.
Menurut mitos masyarakat setempat, kerbau albino (bule) Kiai Slamet itu bukan sembarang kerbau, karena hewan ini termasuk pusaka penting milik keraton. Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule adalah hewan klangenan atau kesayangan? Paku Buwono II, sejak istananya masih di Kartasura, sekitar 10 kilometer arah barat keraton yang sekarang.
Dalam ceritanya, kerbau itu merupakan hadiah dari Bupati Ponorogo kepada Paku Buwono II, yang diperuntukkan sebagai cucuk lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang bernama Kiai Slamet.
Konon, saat Paku Buwono II mencari lokasi untuk keraton yang baru, tahun 1725, leluhur kebo-kebo bule tersebut dilepas, dan perjalanannya diikuti para abdi dalem keraton, hingga akhirnya berhenti di tempat yang kini menjadi Keraton Kasunanan Surakarta, sekitar 500 meter arah selatan Kantor Balai Kota Solo.
Minangkabau
Di pulau Sumatera, di Minangkabau, Sumatera Barat, kerbau mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat. Bahkan nama Minangkabau diambil dari kata ‘Minang’ yang berarti kemenangan dan ‘Kabau’ yang berarti kerbau.
Minangkabau diartikan kemenangan kerbau. Penamaan ini berhubungan erat dengan sejarah terbentuknya Minangkabau.
Konon, sejarah nama Minangkabau berawal dari kisah peperangan rakyat Sumatera Barat melawan kerajaan besar dari Jawa. Berkat bantuan kerbau-lah masyarakat di Sumbar menang perang. Akhirnya sampai sekarang menamakan diri sebagai suku Minangkabau.
Saking lekatnya sejarah itu dengan masyarakat setempat, suku Minangkabau sampai membawa simbol-simbol kerbau pada adat budaya setempat. Misalnya atap rumah tradisional atau dengan istilah ‘Rumah Bogonjong’. Rumah adat ini disebut juga Rumah Gadang itu berbentuk seperti tanduk kerbau pada bagian atapnya.
Begitu pula pada pakaian wanitanya yang terlihat adanya Baju Tanduak Kabau, di mana ada hiasan mirip tanduk kerbau.
Selain itu, dalam kepercayaannya, badan kerbau yang besar dan kekar dianggap mampu membantu berbagai macam pekerjaan manusia, misalnya berladang dan menggiling tebu.
Dan selain itu, kepala kerbau yang diawetkan di Minangkabau dijadikan hiasan yang dipajang di rumah-rumah gadang di Sumatera Barat. []