
ARASYNEWS.COM – Pemilihan pejabat publik dalam kondisi sekarang ini berbeda daripada zaman dahulu, dimana masyarakat hanya dapat menyaksikan peralihan dari satu pemimpin ke lain pemimpin, dari satu raja ke lain raja, dari satu wali ke lain wali, dari satu pejabat ke lain pejabat.
Saat sekarang, semuanya diserahkan kepada rakyat untuk pemilihan. Dengan kata lain, kondisi ini kita ini patut disyukuri.
Meski demikian, kondisi sekarang ini juga perlu dibarengi dengan kedewasaan dalam menyikapi perbedaan pilihan.
Ekses negatif dari pemilihan langsung pejabat publik itu antara lain adalah munculnya upaya saling menjatuhkan oleh masing-masing pihak.
Tidak sedikit fenomena saling hujat dan saling hina kita temukan sekarang ini di tengah masyarakat hanya karena perbedaan calon yang diusung.
Tindakan saling menghina, saling hujat, dan saling merendahkan bukan akhlak yang diajarkan oleh Islam.
Ini, telah difirmankan Allah dalam surah Al-Hujurat ayat 11.
Dan dari penjelasan Syekh Jalaluddin As-Suyuthi tentang ayat ini adalah
“يَا أَيّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَر” الْآيَة نَزَلَتْ فِي وَفْد تَمِيم حِين سَخِرُوا مِنْ فُقَرَاء الْمُسْلِمِينَ كَعَمَّارٍ وَصُهَيْبٍ وَالسُّخْرِيَّة : الِازْدِرَاء وَالِاحْتِقَار “قَوْم” أَيْ رِجَال مِنْكُمْ “مِنْ قَوْم عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ” عِنْد اللَّه “وَلَا نِسَاء” مِنْكُمْ “مِنْ نِسَاء عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسكُمْ” لَا تَعِيبُوا فَتُعَابُوا أَيْ لَا يَعِبْ بَعْضكُمْ بَعْضًا “وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ” لَا يَدْعُو بَعْضكُمْ بَعْضًا بِلَقَبٍ يَكْرَههُ وَمِنْهُ يَا فَاسِق يَا كَافِر “بِئْسَ الِاسْم” أَيْ الْمَذْكُور مِنْ السُّخْرِيَّة وَاللَّمْز وَالتَّنَابُز “الْفُسُوق بَعْد الْإِيمَان” بَدَل مِنْ الِاسْم أَنَّهُ فِسْق لِتَكَرُّرِهِ عَادَة “وَمَنْ لَمْ يَتُبْ” مِنْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya, “(Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mengolok-olok) ayat ini turun perihal rombongan tamu Banu Tamim ketika mereka meremehkan orang Muslim yang fakir seperti sahabat Ammar RA dan Suhaib RA. “Olok-olok” bermakna mengejek dan merendahkan (oleh suatu kaum) di antara kalian (terhadap kelompok lainnya. Boleh jadi mereka [yang diejek] lebih baik dari mereka [yang mengejek]) di sisi Allah SWT. (Jangan pula perempuan-perempuan) di antara kalian ([mengejek] terhadap kelompok perempuan lainnya. Boleh jadi mereka [yang diejek] lebih baik dari mereka [yang mengejek]. Jangan pula kalian saling mencela) jangan kalian mencela orang lain sehingga berujung saling mencela. Jangan sebagian kalian mencela sebagian lainnya. (Janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar buruk) Janganlah salah seorang kalian memanggil kawannya dengan sebutan-gelar yang ia tidak berkenan seperti panggilan “Hai fasiq” atau “Hai kafir”. (Seburuk-buruk nama) tersebut yang mengandung olok-olok, ejekan, celaan, dan gelar yang buruk (adalah panggilan yang buruk setelah beriman) “al-fusuqu” merupakan badal dari “al-ismu” untuk menegaskan bahwa gelar-sebutan penghinaan itu merupakan perbuatan buruk karenanya kata-kata itu diulang sebagaimana lazimnya. (Siapa saja yang belum bertobat) dari semua itu, (maka mereka itulah orang-orang yang aniaya),” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsirul Quranil Azhim lil Imamainil Jalalain [Tafsirul Jalalain], Beirut, Darul Fikr, tanpa tahun, halaman 424).
Bagi umat muslim muslimah sangat penting untuk menjaga etika berkomunikasi. Suatu kelompok masyarakat baik laki-laki maupun perempuan tidak boleh merendahkan kelompok masyarakat lainnya hanya karena perbedaan kelas sosial, ataupun perbedaan lainnya. Salah satu contohnya adalah menghujat dan mencemooh golongan lain.
Dan bahkan ada juga yang mengangkat masalah pribadi yang disampaikan ke publik yang dapat merendahkan orang lain.
Imam Al-Ghazali, menyampaikan tentang permasalahan ini yakni
الباب الثالث في الامامة النظر في الإمامة أيضاً ليس من المهمات، وليس أيضاً من فن المعقولات فيها من الفقهيات، ثم إنها مثار للتعصبات والمعرض عن الخوض فيها أسلم من الخائض بل وإن أصاب، فكيف إذا أخطأ !
Artinya, “Bab Ketiga Perihal Kepemimpinan. Pandangan dalam kepemimpinan juga bukan bagian dari perkara penting (prinsip/ushul), juga bukan bagian dari kajian ilmu aqli, tetapi lebih pada masalah fiqhiyah (furu’). Di samping itu masalah kepemimpinan mengobarkan kefanatikan. Karenanya orang yang menghindarkan diri dari (pembicaran) berlarut-larut di dalamnya lebih selamat dibanding mereka yang larut tenggelam di dalamnya meskipun ia benar. Terlebih lagi kalau keliru!” (Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Iqtishad fil I‘tiqad, Beirut, Darul Fikr, 1997 M/1417 H, halaman 166-167).
Banyak masyarakat yang ikut serta menguntit Maslaah pribadi orang lain sehingga menimbulkan kebencian.
Imam Al-Ghazali menganjurkan, sebaiknya kita tidak perlu terlibat dalam perbincangan tersebut. Sebaiknya kita menjaga silaturahmi dan menjaga etika dalam berkomunikasi. []