
ARASYNEWS.COM – Datang berkunjung ke Sumatera Barat, hampir setiap pengunjung menyempatkan hadir dan berswafoto di Jam Gadang yang terletak di kota Bukittinggi. Apalagi saat ini kawasan Jam Gadang telah mendapat banyak perubahan.
Dalam bahasa Indonesia, Jam Gadang berarti ‘jam yang besar’. Dan benar adanya, jam ini memang dibuat sangat besar. Bahkan tingginya mencapai 26 meter.
Menara jam ini memiliki jam dengan ukuran besar di empat sisinya sehingga dinamakan Jam Gadang, sebutan bahasa Minangkabau yang berarti “jam besar”.
Mesin Jam Gadang diyakini hanya ada dua di dunia. Kembarannya tentu saja yang saat ini terpasang di Big Ben, Inggris. Mesin yang bekerja secara manual tersebut oleh pembuatnya, Forman (seorang bangsawan terkenal) diberi nama Brixlion.
Jam Gadang mulai dibangun tahun 1826 atas inisiatif Hendrik Roelof Rookmaaker, sekretaris kota atau controleur Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Jamnya merupakan hadiah dari Ratu Belanda Wilhelmina kepada Rook Maker, sekretaris atau controleurFort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yakni pada tahun 1832.
Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Yazid Rajo Mangkuto dari Koto Gadang, sementara pelaksana pembangunan adalah Haji Moran dengan mandornya St. Gigi Ameh.
Peletakan batu pertama pembangunan dilakukan oleh putra pertama Rookmaker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun. Pembangunannya menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang untuk ukuran waktu itu tergolong fantastis.
Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Maksudnya yakni agar orang Kurai, Banuhampu, sampai Sarik Sungai Puar bangun pagi apabila ayam sudah berkokok.
Pada masa pendudukan Jepang, bentuk atap diubah menjadi bentuk pagoda. Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.

Ketika berita proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan di Bukittinggi, bendera merah putih untuk pertama kalinya dikibarkan di puncak Jam Gadang, setelah melalui pertentangan dengan pucuk pimpinan tentara Jepang. Pemuda yang memimpin massa untuk menaikkan pertama kali Sang Saka Merah Putih di puncak Jam Gadang bernama Mara Karma.
Pada masa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (1958–1961), terjadi pertempuran antara Tentara Indonesia (ketika itu bernama Angkatan Perang Republik Indonesia atau APRI) dengan pasukan PRRI. Di bawah Jam Gadang, APRI membunuh sekitar 187 orang dengan cara ditembak. Hanya 17 orang dari jumlah tersebut yang merupakan tentara PRRI, sedangkan selebihnya merupakan rakyat sipil. Para mayat lalu dijejer di halaman Jam Gadang.

Misteri Angka 4 Romawi Jam Gadang
Satu hal yang menarik dari Jam Gadang ini adalah angka romawi IV di dalam jam yang ditulis dengan ‘IIII’. Penulisan yang di luar patron angka Romawi tersebut hingga saat ini masih diliputi misteri.
Namun, keganjilan pada penulisan angka tersebut justru membuat Jam Gadang menjadi kian menarik dan menggugah rasa penasaran wisatawan.
Dilansir dari situs Pemerintah Kota Bukittinggi, ada cerita yang berkembang di masyarakat setempat seputar keberadaan angka 4 Romawi aneh tersebut.
Ada sebagian masyarakat yang mengartikannya sebagai penunjuk jumlah korban yang menjadi tumbal ketika pembangunan jam ini. Ada pula yang mengartikan, 4 orang pekerja bangunan pembuat jam Gadang meninggal setelah jam tersebut selesai.
Terlepas dari misteri angka 4 tersebut, Jam Gadang merupakan satu dari dua jam di dunia yang menggunakan mesin manual Brixlion ciptaan seorang bangsawan terkenal Eropa, Forman. Jam lain yang menggunakan teknologi ini adalah Big Ben di Inggris. []