Menyusuri Rumah Kelahiran Bapak Proklamator Bung Hatta di Bukittinggi

ARASYNEWS.COM, BUKITTINGGI – Di Nagari Aja Tajungkang, terdapat satu rumah kayu berlantai dua. Rumah ini masuk dalam catatan sejarah dan telah dijadikan badan pelestarian cagar budaya (BPCP) Sumatera Barat sebagai tempat sejarah yang dilestarikan. Lokasinya berada di jalur perlintasan Bukittinggi-Payakumbuh.

Lalu lintas padat meningkahi perjalanan ketika hendak berkunjung ke rumah Sang Proklamator ini, tepat di jalan lintas di kawasan Pasar Banto berdirilah rumah kayu ini dengan penanda papan bertuliskan Rumah Kelahiran Bung Hatta.

Meskipun hampir tenggelam dalam hiruk pikuk kota, rumah ini tetap lestari dan kokoh. Untuk menapak kembali kenangan akan sosok sang proklamator negarawan sederhana yang genius dan religius kita akan menyibak ruang-ruang kenangan dalam rumah ini.

Di rumah inilah Saleha dan suaminya Mohammad Djamil (orang tua Bung Hatta atau Mohammad Hatta) mempertautkan bayi dengan tanah minang, darah saudagar dan pemuka agama deras mengalir ditubuhnya, seratus tahun lebih raga Hatta terkubur namun karya serta jasanya masih hidup dalam ingatan dan hati masayarkat.

Meskipun tidak pernah bertemu, berbincang menatap wajah sederhananya yang cerdas, rumah kelahirannya menjadi pengobat rindu, pelipur lara. Banyak orang-orang dari berbagai daerah datang melihat rumah kayu tersebut untuk sekedar berkunjung ataupun ingin meresapi satu jalan sejarah.

Dalam memori yang ditulisnya Hatta menarasikan kenangan mengenai rumah ini, dalam penjelasan Hatta, dia bersama keluarganya di Bukittinggi tinggal dalam satu rumah, terdiri dari buyutnya yang biasa dipanggil Nenek, Pak Gaek dan Nenek, Ibu Hatta sedangkan Ayah Hatta hanya datang pada akhir minggu karena pusat kerjanya berada di Padang.

Mak Saleh, Paman Hatta yang biasa dipanggil Mak Alieh juga tinggal disitu bersama istrinya, selanjutnya Paman Hatta yang paling muda Mak Idris yang pada masa itu masih bujangan dan satu kakak perempuan Hatta yang bernama Rafi’ah.

Rumah kayu bertingkat dua ini cukup luas untuk menampung semua penghuni bahkan masih ada tempat bagi pelayan, namun setelah adik-adik Hatta lahir dan pamannya juga mempunyai anak, Pak Gaek Hatta kemudian mendirikan tiga rumah baru sederet letaknya dengan rumah utama.

Rumah dengan halaman yang tidak begitu luas hanya bisa menampung satu atau dua buah mobil. Untuk menjaga kelestariannya pengunjung tidak diperbolehkan parkir di halaman rumah, pengunjung biasanya memarkirkan mobil di bahu jalan.

Melangkahkan kaki di halaman rumah, rindu merebak memenuhi jantung pada sosok pemimpin yang dirindukan serta pada kenangan tempo dulu yang datang dengan tiba-tiba.

Memoar yang ditulis Hatta dalam buku “Untuk Negeriku” seakan terbentang jelas di depan mata dan kita terhisap dalam kenangan yang tak bertepi.

Hatta dan tulisan siam tak terpisah, tulisan adalah amunisi terkuat Hatta. Tulisan pertamanya menceritakan kisah khayali antara Hindania dan Wolandia mengenai kisah cinta yang perih “Namaku Hindania!” tulis Hatta.

“Aku dilahirkan di matahari, hidup waktu fajar lagi menyingsing, disambut oleh angin sepoi yang bertiup dari angkasa serta dinyanyikan oleh suara margasatwa yang amat merdu bunyinya.”

Kisah sederhana itu akan terjatuh menjadi roman picisan seandainya Hatta bercerita tentang cinta belaka. Hindania adalah personifikasi “Indonesia”.

Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, dia bertemu seorang musafir dari Barat, Wolandia, yang kemudian mengawininya. Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga “lebih mencintai hartaku daripada diriku” dan “menyia-nyiakan anak-anaku”.

Dalam kepedihan, Hindania bersyukur terjadi perubahan besar di Barat. Yakni ketika Maharaja Mars yang bengis naik takhta di “negeri maghrib”, yang kebengisannya menyadarkan Wolandia untuk lebih bermuka manis. Pada 1920, ketika Hatta menulis itu, pemerintah Belanda sedang gencar menerapkan kebijakan “politik etis”, bersikap lebih manis kepada rakyat pribumi, setelah mereka mengalami sendiri pahitnya dijajah Jerman selama Perang Dunia I-perang dahsyat yang dipersonifikasikan Hatta sebagai Maharaja Mars.

Halaman rumah ini terawat dengan baik, tumbuh beberapa pohon yang menambah kesejukan rumah.

Menapaki beberapa buah anak tangga kita sudah sampai di beranda rumah yang sederhana namun sangat rapi dan epik, semuanya berbahan dasar kayu.

Di Beranda rumah terdapat meja dan beberapa kursi untuk menerima tamu ataupun sekedar tempat duduk pengunjung. Di lantai satu banyak terdapat koleksi foto-foto, diantaranya foto Mak Saleh Mak Idris dan koleksi foto-foto hatta lainnya.

Selain itu juga terdapat mesin jahit lama. Dalam setiap barang koleksi sudah tertulis aturan yang harus di patuhi pengunjung, seperti tidak boleh duduk diatas tempat tidur maupun kursinya. Hal ini bertujuan untuk menjaga barang koleksi agar tetap awet.

Barang-barang koleksi yang terdapat di dalam rumah Bung Hatta, adalah barang-barang yang digunakan pada masa itu dan itu didapatkan dari sanak kerabat Bung Hatta.

Di lantai satu terdapat tiga pintu, dua pintu sejajar yang terdapat diujung kiri dan kanan berfungsi sebagai pintu masuk, sedangkan pintu ketiga terdapat di ujung ruangan sebelah kanan yang berfungsi sebagai pintu keluar untuk menuju ruang belakang.

Menyusur ruang makan disebelah kanan, kita akan menemukan tangga untuk menyigi lantai dua. Disini terdapat dua kamar besar, diantaranya kamar kakek Hatta dan kamar Ibu Hatta.

Di rumah inilah berbagai kenangan akan Sang proklamator tertinggal. Jika rindu akan pemimpin yang jujur, singgahilah rumah ini. Kenangan akan menyusup memenuhi ruang ruang jantung, sosok sang proklamator seakan membawa pesan. []

You May Also Like