
ARASYNEWS.COM – Tidak jauh dari pusat kota Solok, terdapat satu makam yang dikenal dengan makam Datuk Parpatiah nan Sabatang. Makam ini masih terawat dan menjadi salah satu objek wisata yang banyak dikunjungi.
Datuk Parpatiah Nan Sabatang adalah salah satu tokoh pencetus pranata adat Minangkabau yang terus dipakai samapai sekarang. Dari Dt Parpatiah muncul filosofi Alue Jo Patuik (Alur dan Patut) yang menjadi motto kabupaten Solok.
Awalnya beliau bertempat tinggal di Pagaruyung Batusangkar di pusat kerajaan Minangkabau, namun karena ada perselisihan pendapat dengan pemuka-pemuka adat, beliau kemudian pindah ke daerah ini dan menghabiskan hari tuanya di nagari salingka Kubung Tigo Baleh, Kecamatan Kubung.
Beliau meninggal di Nagari Selayo dan kemudian dimakamkan di Munggu Tanah, Nagari Selayo, Kecamatan Kubung, kota Solok.
Tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya beliau meninggal, namun berdasarkan cerita cerita legenda adat lama, masyarakat meyakini Dt. Parpatiah Nan Sabatang ini hidup pada abad IV Masehi.
Beberapa waktu yang lalu makam tokoh adat Minangkabau ini dipugar dan diperindah dengan bangunan berarsitektur rumah gadang. Makam beliau di Munggu Tanah bisa dicapai dalam waktu sekitar 15 menit dari pusat Kota Solok.

Konon saat berada di Solok, Dt Parpatiah Nan Sabatang ini dalam perjalanan hidupnya kerap berada di satu tempat. Tempat itu kini terlihat sebagai tempat yang keramat.
Bagi masyarakat, tempat ini dikenal dengan ‘Batu Nan Tujuah’ (batu yang tujuh). Berlokasi di Nagari IX Korong, Kota Solok.
Bagi masyarakat, batu-batu yang tersusun rapi ini dulunya adalah sebagai tempat sandaran Dt Parpatiah Nan Sabatang. Beliau banyak memberikan pemikiran-pemikiran untuk mensejahterakan masyarakat di daerah itu pada waktu dulu.
Keberadaan batu-batu ini memang tidak terlihat jelas. Karena tertutup berada disekitar pemukiman warga. Lokasinya berada di sebelah sebuah rumah gadang.
Masyarakat percaya tempat ini adalah tempat keramat yang tidak sembarang orang dapat memasukinya. Jika ingin masuk maka harus melakukan ritual kecil dan meminta izin kepada yang menjaga cagar budaya tersebut.
Kemudian, sebelum memasuki lokasi harus izin dulu, seperti “assalamulaikum nyiak, ambo nak mancaliak – caliak nyiak a, mohon ampunnyo yo nyiak”. (salam nyiak, saya mau berkunjung, mohon ampunya nyiak)
Selain itu, jika ingin masuk dan keluar area ini diharuskan membungkuk. Dan jika Sudak keluar maka harus berjalan mundur atau tidak boleh membelakangi.
Batu nan tujuah ini terlihat tidak tersusun rapi atau berserakan. Tapi di tempat ini, Dt Parpatiah Nan Sabatang mendapat banyak ketenangan dan sebagai tempat beliau untuk beristirahat.
Tujuh batu ini, dinyatakan tujuh juga karena mencerminkan sikap Dt Parpatiah Nan Sabatang, yang selalu berpegang teguh terhadap tujuh sifat tuhan yang dibutuhkan untuk memimpin kaumnya. []