Cara Memusnahkan Al-Qur’an yang Rusak atau Usang Dimakan Usia Menurut Khalifah

ARASYNEWS.COM – Al-Qur’an adalah firman (ucapan) Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya Muhammad ﷺ, yang ditulis di mushaf (lembaran) dan disampaikan kepada kita umat Muslim secara mutawatir tanpa ada keraguan padanya.

Sebagai wahyu, Al-Qur’an dihafalkan Rasulullah ﷺ dan para sahabat. Kemudian wahyu-wahyu ini dikumpulkan dan ditulis di dalam mushaf atau lembaran. Dengan demikian, wahyu Allah yang semula berbentuk perkataan lalu berbentuk tulisan tersebut kita sebut mushaf Al-Qur’an.

Sebagai Muslim kita mempunyai kewajiban terhadap Al-Qur’an yaitu mengimaninya, membacanya, mempelajarinya, mengamalkannya, berhukum dengannya, mendakwahkannya dan mengajarkannya serta memuliakan dan menghormatinya. Menjaga mushaf al-Quran dan meletakkannya di tempat yang tinggi dan mulia supaya tidak terhina atau dihinakan orang.

Meski demikian, jika ditemukan ada mushaf Al-Qur’an yang mengalami kesalahan penulisan atau juga kondisi yang sudah rapuh dimakan usia, lusuh atau koyak sehingga tidak bisa dibaca atau dimanfaatkan lagi. Mushaf ini pun berisiko untuk terinjak, tercampur dengan barang lain, bahkan bisa terkena kotoran najis.

Terkait kasus ini, ada dua solusi cara yang bisa dilakukan. Yaitu dengan cara ditanam dalam tanah atau juga dibakar.

Mazhab Hanafi dan Hanbali memopulerkan yang pertama. Mushaf yang rusak dan sudah tak lagi terpakai bisa ditanam dalam tanah. Al-Hashkafi, salah seorang imam bermazhab Hanafi dalam kitab ad-Durr al-Mukhtar menjelaskan, layaknya seorang Muslim, ketika tak lagi bernyawa, maka ia akan dikubur di tanah. Perlakuan yang sama juga berlaku untuk mushaf Al-Qur’an. Bila sudah rusak dan sulit terbaca, hendaknya dibenamkan di tanah. Lokasi penguburan mushaf ini bukan berada di jalan yang sering dilalui orang.

Imam Ahmad, seperti yang dinukil al-Bahwati dalam kitab Kasyf al-Qanna’, pernah berkisah, ketika itu Abu al-Jauza’ memiliki mushaf yang telah usang dan tak laik. Abu al-Jauza’ kemudian mengubur mushaf tersebut disalah satu sudut masjid. Pandangan yang sama juga disampaikan oleh Syekh Ibnu Taimiyyah, bahwa penguburan mushaf rusak adalah bentuk penghormatan. Sebagai mana manusia sewaktu meninggal dimakamkan di lokasi yang aman.

Sedangkan, alternatif cara yang lain adalah dengan dibakar. Opsi pembakaran mushaf Al-Qur’an yang rusak ini banyak disampaikan dikalangan Mazhab Maliki dan Syafi’i. Dasar pendapatnya merujuk keputusan Khalifah Usman bin Affan yang membakar mushaf. Seperti dikutip dari Bukhari dalam kitab hadist sahihnya (15/386 hadis nomor: 4604). Usman meminta Hafshah menyerahkan mushaf yang ia simpan. Khalifah itupun lantas menginstruksikan kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-‘Ash, dan Abudurrahman bin al-Harits bin Hisyam untuk mengkopi atau menduplikat mushaf itu. Dan setelah proses selesai, Usman memerintahkan mushaf-mushaf yang berada di tangan sejumlah sahabat untuk dibakar. Hal ini ditempuh guna mencari titik mufakat dan penyeragaman mushaf. Mush’ab bin Sa’ad, sebagaimana dinukil dari kitab al-Mashahif, menjelaskan, publik kala itu tidak setuju dengan opsi pembakaran dan mendukung gagasan Usman.

Peristiwa tersebut oleh Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan fi Ulu mul Qur’an dijadikan sebagai dasar diperbolehkannya membakar mushaf yang rusak. Ia berpandangan, bila lembaran-lembaran itu rusak, tidak boleh hanya diselamatkan dengan meletakkan di tempat tertentu. Hal ini dikhawatirkan jatuh dan akan terinjak. Pasalnya, sobekan masih menyisakan beberapa huruf atau kalimat. Ini bisa lebih fatal akibatnya. Dan dikatakan salah satu opsinya adalah dengan cara dibakar.

Disisi lain, Komite Fatwa Kerajaan Arab Saudi (Fatawa al-Lajnah ad-Dai mah) dalam kompilasi fatwanya menyebutkan, mushaf yang tak lagi terpakai, kitab, dan kertas-kertas dimana tertulis ayat-ayat Al-Qur’an, maka hendaknya dikubur ditempat yang layak, jauh dari lalu lintas manusia atau dan jauh dari lokasi yang menjijikkan. Opsi lain yang bisa ditempuh ialah dibakar. Hal ini sebagai bentuk penghormatan dan menghindari perendahan Al-Qur’an.

Majelis Tarjih PP Muhammadiyah pun pernah menegaskan, apa yang dibakar dalam konteks ini adalah mushaf atau lembarannya, melainkan bukan Al-Qur’an. Membakar mushaf Al-Qur’an disini bukan untuk menghinakannya, tapi justru untuk menjaga kemuliaannya dengan dasarnya adalah untuk kemaslahatan.

Jadi, selagi membakar itu ada maslahat atau kebaikan bagi Al-Qur’an, maka hal itu dibenarkan. Maslahatnya dalam kasus ini ialah menjaga kemuliaan Al-Qur’an agar lembaran mushaf Al-Qur’an yang telah rapuh atau rusak tersebut tidak berserakan sembarangan tempat atau digunakan untuk hal-hal yang tidak semestinya.

Dasar lain yang membenarkan membakar mushaf Al-Qur’an adalah sadd adz-dzari’ah, yaitu menutup jalan menuju kepada kerusakan. Artinya, daripada mushaf Al-Qur’an terhinakan atau dihinakan karena telah rapuh dimakan usia dan tidak bisa dibaca lagi, lebih baik dibakar supaya tidak terbiarkan, terinjak, atau dibuang di tempat sampah.

Namun demikian, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, seperti fitnah dan kecurigaan, ketika membakar atau menguburkan Al-Qur’an yang telah rapuh tersebut hendaknya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tidak di depan orang banyak. Selain itu, juga meminta izin dan berdo’a kepada Allah. []

Wallahu a‘lam.

You May Also Like