ARASYNEWS.COM – Kabar menggembirakan bagi keluarga di Indonesia, terutama bagi ibu-ibu hamil yang akan melahirkan anaknya. Ini karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah resmi meneken Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 5 Tahun 2022 tentang Peningkatan Akses Pelayanan Kesehatan Bagi Ibu Hamil, Bersalin, Nifas, dan Bayi Baru Lahir melalui Program Jaminan Persalinan.
“Untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir melalui Program Jaminan Persalinan (Jampersal) yang disesuaikan dengan manfaat dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional,” demikian isi beleid inpres tersebut, dikutip pada Rabu (20/7/2022).
Lebih lanjut, inpres tersebut diharapkan dapat meningkatan akses pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan kepada ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir yang memenuhi kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu serta tidak memiliki jaminan kesehatan untuk mencegah kematian ibu dan bayi di Indonesia.
Adapun, instruksi ini ditujukan kepada Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Menteri Kesehatan (Menkes), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Sosial (Mensos), para gubernur, para bupati/wali kota, serta Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan).
Secara rinci, instruksi yang diberikan kepada Menko PMK adalah melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pelaksanaan Inpres serta melaporkan pelaksanaan Inpres kepada Presiden secara berkala setiap tiga bulan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
Kemudian, instruksi yang diberikan untuk Menkes adalah untuk mengalokasikan anggaran dalam rangka pelaksanaan Program Jampersal dan menyusun serta menetapkan pedoman teknis pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir melalui Program Jampersal termasuk tata cara pembayaran klaim Program Jampersal.
Selain itu, Menkes juga diinstruksikan untuk melakukan pendataan dan menetapkan sasaran ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir dalam Program Jampersal berkoordinasi dengan pemerintah daerah serta diminta untuk melakukan pemetaan dan penetapan fasilitas pelayanan kesehatan pemberi layanan program Jampersal.
Menkes juga diminta memberikan persetujuan atas hasil verifikasi klaim yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan dan melakukan pembayaran klaim pelayanan Jampersal yang sudah terverifikasi kepada fasilitas pelayanan kesehatan sesuai alokasi yang ditetapkan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, Mendagri diinstruksikan untuk memfasilitasi kepemilikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) bagi ibu hamil dan keluarganya, serta menyediakan akses data penduduk berbasis NIK untuk dimanfaatkan sebagai data kepesertaan Program Jampersal.
Mendagri juga diminta menugaskan gubernur dan bupati/wali kota untuk mengusulkan peserta Program Jampersal yang memenuhi kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu menjadi peserta PBI Jaminan Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menugaskan gubernur dan bupati/wali kota untuk memfasilitasi pemenuhan sumber daya pada fasilitas pelayanan kesehatan yang ditetapkan dalam mendukung Program Jampersal.
“Menteri Sosial untuk melakukan percepatan pemutakhiran data terpadu kesejahteraan sosial hasil verifikasi dan validasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka penetapan peserta Program Jampersal sebagai peserta PBI Jaminan Kesehatan secara berkala; dan melakukan penetapan peserta Program Jampersal sebagai Peserta PBI Jaminan Kesehatan berdasarkan usulan Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi Inpres tersebut.
Instruksi selanjutnya ditujukan kepada Direksi BPJS Kesehatan, yaitu untuk memastikan status kepesertaan ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir yang memperoleh manfaat Program Jampersal belum memiliki kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional;
Selain itu, BPJS Kesehatan diminta untuk melakukan verifikasi tagihan pelayanan persalinan bagi ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir yang belum memiliki kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, terkait cuti hamil dan melahirkan selama enam bulan yang sampai hari ini menuai pro dan kontra. Lantas apakah Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) yang mengusulkan cuti melahirkan minimal 6 bulan apakah sudah sah? Berikut ini kabar perihal RUU KIA tersebut dilansir dari berbagai sumber.
DPR RI telah menggelar Rapat Paripurna dengan beberapa agenda pembahasan pada Kamis (30/6/2022) lalu. Salah satunya pengesahan RUU KIA sebagai RUU inisiatif DPR.
Dalam RUU KIA ini DPR RI mendorong usulan cuti melahirkan bagi ibu pekerja selama 6 bulan. DPR juga menginisiasi cuti ayah selama 40 hari untuk mendampingi istri yang baru melahirkan.
Selain itu, ada juga aturan penyediaan fasilitas tempat penitipan anak (daycare) di fasilitas umum dan tempat bekerja. RUU KIA disebut-sebut menjadi salah satu upaya mengatasi permasalahan stunting di Indonesia.
Ketua DPR RI Dr. (H.C) Puan Maharani, mengatakan RUU KIA akan menjadi pedoman bagi negara untuk memastikan anak-anak generasi penerus bangsa memiliki tumbuh kembang yang baik agar menjadi sumber daya manusia (SDM) unggul.
Puan berharap pemerintah segera memberikan respons usai RUU KIA disahkan sebagai RUU inisiatif DPR sehingga proses pembahasan bisa segera dilakukan.
“Lewat RUU ini kami ingin memastikan setiap hak ibu dan anak dapat terpenuhi. Termasuk, hak pelayanan kesehatan, hak mendapatkan fasilitas khusus dan sarana prasarana di fasilitas umum, hingga kepastian ibu tetap dipekerjakan usai melahirkan,” jelas Puan seperti dilansir dari laman resmi DPR RI, dpr.go.id, pada Rabu (20/7/2022)
Isi RUU KIA
Aturan ini akan dibahas lebih lanjut menjadi undang-undang (UU). Dikutip dari salinan RUU KIA yang diusulkan, cuti hamil berubah jadi enam bulan dan masa waktu istirahat 1,5 bulan untuk ibu bekerja yang mengalami keguguran.
Sebelumnya, masa cuti melahirkan diatur dalam UU No.13/2003 tentang Tenaga Kerja dengan durasi tiga bulan. “Setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit 6 bulan, mendapatkan waktu istirahat 1,5 bulan atau sesuai surat keterangan dokter kandungan atau bidan jika mengalami keguguran,” bunyi RUU KIA Bab II Pasal 4 ayat (2) a dan b seperti dilansir Solopos.com dari Bisnis.com, Selasa.
Beleid tersebut juga menegaskan selama cuti hamil pekerja tidak dapat diberhentikan dari pekerjaan dan tetap memperoleh hak sebagai pekerja. RUU KIA itu mengatur penetapan upah untuk ibu yang cuti melahirkan, yakni 3 bulan pertama masa cuti mendapat gaji penuh (100 persen) dan mulai bulan ke-4 upah dibayarkan 75 persen.
“Setiap Ibu yang melaksanakan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat [2] huruf a mendapatkan hak secara penuh 100 persen untuk 3 bulan pertama dan 75 persen untuk 3 bulan berikutnya,” bunyi Bab II Pasal 5 ayat (2).
RUU KAI juga memberikan cuti bagi suami sebagai pendamping, yakni paling lama 40 hari jika istri melahirkan dan jika istri keguguran dibolehkan cuti paling lama 7 hari.
Jadi, cuti melahirkan 6 bulan apakah sudah sah? Seperti itu tadi penjelasannya. Tetapi yang pasti, RUU KIA bertujuan mewujudkan rasa aman, tenteram bagi ibu dan anak, meningkatkan kualitas hidup ibu dan anak yang lebih baik untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin.
Selain itu, mewujudkan sumber daya manusia yang unggul dan menjamin upaya penghormatan, pemajuan, pelindungan, dan pemenuhan hak bagi ibu dan anak. Selain itu, melindungi dari tindak kekerasan, penelantaran, segala tindakan diskriminatif, dan pelanggaran hak asasi manusia.
[]