Presiden Jokowi: Kritik dan Masukan dari Pers Sangat Penting untuk Pemerintah, Mulai dari Tulisan, Gambar, hingga Mural, Asalkan Sopan dan Beradab

ARASYNEWS.COM – Dari Istana Bogor, Presiden Jokowi hadir mengikuti puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022, pada Rabu (9/2/2022) yang dilaksanakan di Kendari, Sulawesi Tenggara.

Jokowi dalam pidatonya mengatakan kritik dan masukan dari insan pers sangat penting bagi pemerintah. Menurut dia, kritik dan masukan tersebut bisa menjadi pengingat bagi pemerintah dan jajarannya agar bekerja dengan frekuensi yang sama.

“Kritik, masukan dan dukungan dari insan pers, sangat sangat penting,” kata Jokowi dalam pidatonya pada Rabu, (9/2/2022).

“Hal itu untuk mengingatkan jika ada yang kurang, perlu diperbaiki, mendorong yang masih lamban dan mengapresiasi yang sudah berjalan baik. Dengan demikian, pemerintah dan jajarannya memiliki frekuensi dan visi yang sama untuk Indonesia yang maju,” kata dia lagi.

Ditambahnya, bahwa pemerintah terbuka terhadap kritik demi kebaikan bersama. Profesi jurnalis, kata dia dijamin di dalam undang-undang pers.

“Itu sebabnya kebebasan pers menjadi salah satu pilar penting kemajuan di negara Republik Indonesia,” tukasnya.

Melihat kejadian-kejadian sebelumnya, justru apa yang disampaikan Presiden Jokowi ini bertolak belakang dengan kejadian yang sebenarnya terjadi di lapangan. Tidak sedikit jurnalis yang ditekan, dipukul secara fisik, dan bahkan dibui. Hal itu disebutkan karena melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Siapa saja para jurnalis yang dibui tersebut. Berikut ini beberapa diantaranya yang terekspos.

Dalam fakta yang disampaikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), profesi jurnalis justru rentan dikriminalisasi dan dibui. Pada 2021, tiga jurnalis terpaksa mendekam di bui karena dianggap melanggar UU ITE, khususnya pasal pencemaran nama baik.

Dikutip dari Catatan Akhir Tahun 2021 AJI, ketiga jurnalis itu dibui karena memberitakan hal-hal yang menyangkut kepentingan publik seperti dugaan korupsi, kebijakan pemda yang dianggap bisa merugikan publik dan penyerobotan tanah.

Jurnalis pertama adalah Muhammad Asrul yang bekerja di media berita.news (media online). Asrul yang merupakan editor itu memuat berita tentang dugaan korupsi di Palopo, Sulawesi Selatan.

Ia dijerat dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE. Pengadilan Palopo menjatuhkan vonis 3 bulan bagi Asrul.

Ia sudah menyarankan agar proses sengketa itu diselesaikan sesuai Undang-Undang Pers yakni melalui Dewan Pers.

“Sudah ada penyelesaian dan penilaian dari Dewan Pers bahwa Muhammad Asrul ini jurnalis dan beritanya itu merupakan produk jurnalistik, dan itu sudah firm (mantap), dan (pernyataan) itu keluar dari Dewan Pers,” ungkap Ketua Bidang Advokasi AJI, Erick Tanjung ketika memberikan keterangan pers pada 29 Desember 2021 lalu.

Jurnalis kedua, yakni Sadli Saleh yang mengkritik kebijakan Bupati Buton Tengah, Samahudin. Ia adalah pemimpin redaksi di media lokal.

Ia mengkritik kebijakan Samahudin dalam proyek pembangunan jalan simpang lima. Tulisannya yang berjudul “ABRACADABRA: SIMPANG LIMA LABUNGKARI DISULAP MENJADI SIMPANG EMPAT” dianggap oleh majelis hakim telah menimbulkan kebencian di masyarakat.

Akhirnya, Pengadilan Negeri Pasarwajo, Kabupaten Buton menjatuhkan vonis 2 tahun bui.

Jurnalis ketiga, yakni Dianta Putera Sumedi. Dianta dianggap telah melanggar pasal 28 UU ITE yang berisi penyebaran informasi untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan terhadap kelompok individu tertentu.

Media tempat Dianta bekerja telah memuat hak jawab, meminta maaf dan mencabut berita tersebut. Tetapi, polisi tetap memproses kasusnya.

Pengadilan Kotabaru, Kalimantan Selatan menjatuhkan vonis bui 3 bulan dan 15 hari karena menayangkan tulisan penyerobotan lahan dengan judul “Tanah Dirampas Jholin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel.”

Usai pembacaan vonis, Dianta menyebut keputusan majelis hakim ini merupakan lonceng kematian bagi kemerdekaan pers. Sementara, Dewan Pers mencatat ada 44 kasus di mana mereka harus berkoordinasi dengan pihak kepolisian terkait dugaan pelanggaran UU ITE.

Disisi lain, pemerintah melalui Kepala Staf Presiden (KSP), Jenderal (Purn) Moeldoko juga pernah menyampaikan kritik harus disampaikan dengan sopan dan beradab.

Sementara, pemerintah kerap menepis anti terhadap kritik. Tetapi, mereka memberikan catatan, kritik yang disampaikan harus dilayangkan dengan sopan dan beradab.

“Jadi kalau mengkritik sesuatu ya beradab, tata krama, ukuran-ukuran kultur kita itu supaya dikedepankan. Bukan hanya selalu berbicara antikritik, antikritik. Cobalah lihat cara-cara mengkritiknya itu,” kata Kepala Staf Presiden, Jenderal (Purn) Moeldoko pada Agustus 2021 lalu.

Ketika itu, Moeldoko merespons soal banyaknya mural (lukisan yang indah dan mengandung seni) berisi kritikan terhadap pemerintah yang tiba-tiba dihapus oleh Satpol PP dan kepolisian. Ia mengatakan, sedari awal sebenarnya presiden selalu menyampaikan bahwa dirinya tak pernah dipusingkan dengan kritik.

Namun, Jokowi juga menyatakan bahwa kritik harus sesuai dengan adat budaya ketimuran. Sedangkan Moeldoko menilai bahwa masyarakat Indonesia mudah sekali menjustifikasi atau menyamakan antara kritik dengan fitnah.

“Ini sering terjadi kita dan banyak tokoh-tokoh kita yang tidak memberi pendidikan kepada mereka-mereka itu, justru terlibat di dalamnya untuk memperkeruh situasi. Janganlah seperti itu,” ujarnya.

Presiden Jokowi juga mengaku sudah lama dikritik dan tak mempermasalahkan segala kritik yang disampaikan. Salah satunya yang menyorot perhatian publik yakni ketika Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia menjuluki Jokowi sebagai “King of Lip Service.” BEM UI ingin menyampaikan ke publik bahwa Jokowi kerap mengobral janji tetapi sering kenyataannya berbeda.

BEM UI menyampaikan kritiknya dengan konten berupa foto dengan judul “Jokowi: The King of Lip Service”. Dalam foto, Jokowi terlihat tengah mengenakan sebuah mahkota. Dan menanggapi itu, Jokowi mengaku tidak terlalu ambil pusing lantaran Indonesia merupakan negara demokrasi.

“Ya itu kan sudah sejak lama ya, dulu ada yang bilang saya ini klemar-klemer, ada yang bilang juga saya itu plonga-plongo, kemudian ganti lagi ada yang bilang saya ini otoriter,” kata Jokowi ketika memberikan keterangan pers pada Juni 2021 lalu.

Ia tak menghalangi mahasiswa yang ingin menyampaikan aspirasinya. Namun, ia juga memberikan catatan, agar semua dilakukan dengan tata krama.

“Kita tidak perlu menghalangi mahasiwa untuk berekspresi. Tapi, juga ingat kita ini memiliki budaya tata krama, memiliki budaya sopan santun,” tukas Jokowi. []

You May Also Like