Melimpahkan Utang yang Dilakukan Seseorang Kepada Orang Lain

ARASYNEWS.COM – Pinjam-meminjam harta atau utang-piutang merupakan salah satu jenis muamalah yang kerap dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat. Islam juga mengatur perkara utang-piutang ini dengan rinci, yang disampaikan dalam Al-Qur’an maupun hadits.

Dalam bahasa Arab, utang disebut dengan Al-Qardh yang artinya adalah memotong. Menurut syari atau kaidah Islam memiliki makna memberikan harta dengan dasar kasih sayang kepada siapapun yang membutuhkan dan dimanfaatkan dengan benar, serta akan dikembalikan lagi kepada yang memberikan. Utang dikatakan juga sebagai pinjaman.

Tentang utang-piutang, mulai dari anjuran mencatat, pemberian jaminan, hingga keutamaan mengikhlaskan utang disampaikan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 280-283

  1. Surat Al Baqarah ayat 280
    Ayat tentang utang

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Dan jika [orang yang berutang itu] dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan [sebagian atau semua utang] itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui,” (QS. Al Baqarah [2]: 280).

Orang yang memberi utang dianjurkan untuk menyedekahkan utangnya, baik itu sebagian atau seluruhnya, sebagaimana tergambar dalam Al-Baqarah ayat 280. Pemberian itu dinilai sebagai sedekah yang berpahala besar di sisi Allah SWT.

  1. Surat Al Baqarah ayat 281
    Ayat tentang utang piutang

وَٱتَّقُوا۟ يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى ٱللَّهِ ۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

Artinya: “Dan peliharalah dirimu dari [azab yang terjadi pada] hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya [dirugikan],” (QS. Al Baqarah [2]: 280).

  1. Surat Al Baqarah ayat 282
    Ayat tentang utang yang tidak dibayar

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِٱلْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔا ۚ فَإِن كَانَ ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُۥ بِٱلْعَدْلِ ۚ وَٱسْتَشْهِدُوا۟ شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ ۖ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَٱمْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحْدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَىٰهُمَا ٱلْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُوا۟ ۚ وَلَا تَسْـَٔمُوٓا۟ أَن تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدْنَىٰٓ أَلَّا تَرْتَابُوٓا۟ ۖ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوٓا۟ إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِن تَفْعَلُوا۟ فَإِنَّهُۥ فُسُوقٌۢ بِكُمْ ۗ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُ ۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai [berutang] untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan [apa yang akan ditulis itu], dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah [keadaannya] atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki [di antaramu]. Jika tak ada dua orang lelaki, maka [boleh] seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan [memberi keterangan] apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak [menimbulkan] keraguanmu. [Tulislah muamalahmu itu], kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, [jika] kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan [yang demikian], maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu,” (QS. Al-Baqarah [2]: 282).

Ayat ini berisi anjuran untuk mencatat utang-piutang, dan berisi beberapa poin penting, yaitu: pentingnya adanya bukti tertulis, adanya saksi, pentingnya saling percaya, oang yang berutang tidak boleh mengurangi utangnya, dan orang yang berutang harus bertakwa kepada Allah.

Untuk menghindari hal-hal tak diinginkan, transaksi utang juga sebaiknya mendatangkan dua saksi laki-laki. Jika tidak ada, saksinya dapat berupa satu laki-laki dan dua perempuan untuk bersaksi atas proses utang-piutang tersebut.

Manfaat pencatatan utang lainnya adalah untuk mengklaim apabila salah satu pihak mangkir dari utang tersebut.

Para ulama menyebut ayat ini sebagai ayat mudayanah, yang artinya ayat utang-piutang

  1. Surat Al Baqarah ayat 283
    Ayat tentang hutang

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan [dan bermuamalah tidak secara tunai] sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang [oleh yang berpiutang]. Akan tetapi jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya [utangnya] dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu [para saksi] menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (QS. Al Baqarah [2]: 283).

Ayat 283 menjelaskan jika utang itu tak ditulis, hendaknya ada barang jaminan yang diberikan kepada orang yang berpiutang. Apabila dalam waktu tertentu utang itu tak dikembalikan, barang jaminan menjadi hak milik orang berpiutang.

Seseorang yang berutang biasanya sedang terdesak atau membutuhkan. Karena itu, memberikan utang atau bersedekah kepada yang bersangkutan dinilai sebagai perbuatan baik karena menolong orang yang membutuhkan.

Di sisi lain, utang termasuk tanggung jawab yang besar. Orang yang berutang wajib melunasi utang tersebut, sekecil apa pun nilainya. Utang yang tak dilunasi akan tercatat sebagai dosa dan menjadi penghalang masuk surga.

Utang diatur dalam Islam karena memang merupakan salah satu sektor kecil dalam urusan ekonomi ummat.

Hutang juga bukan saja dilakukan oleh orang yang tidak mampu, namun juga oleh orang yang mampu atau memiliki banyak harta.

Banyak sekali permasalahan dan konflik yang hadir dari soal hutang. Oleh karena itu apapun yang bisa berdampak pada permasalahan sosial.

Ibnul Qoyyim dalam Al Fawa’id (hal. 57, Darul Aqidah) mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta perlindungan kepada Allah dari berbuat dosa dan banyak hutang karena banyak dosa akan mendatangkan kerugian di akhirat, sedangkan banyak utang akan mendatangkan kerugian di dunia.”

Rasulullah SAW sampai meminta kepada Allah untuk diauhkan dari hutang. Hal ini menunjukkan bahwa hutang memang memberatkan manusia dan akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Untuk itu, berdoa dan berikhtiarlah agar kita diajuhi dari hutang dan dari ketidakmampuan kita membayar hutang

Islam melarang umatnya untuk meninggal dalam keadaan memilili hutang. Hutang bisa menjadi pemberat dan penghapus kebaikan kita kelak dihisab di akhirat. Seperti yang disampaikan oleh hadits berikut.

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah)

Dalam Islam, jika orang lain membayar hutang seseorang, maka hal tersebut disebut al-Ibra’. Al-Ibra’ merupakan bentuk kebaikan, kebaktian, dan upaya silaturrahim.

Menurut Islam, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait utang-piutang, yaitu:

  • Menolong saudara sesama muslim yang sedang mengalami kesulitan adalah ibadah berpahala.
  • Orang yang berutang dengan niat melunasi akan dimudahkan Allah untuk membayarnya.
  • Menunda pembayaran utang bagi yang mampu adalah haram dan dzolim.
  • Jika orang yang berutang dalam kesulitan, maka pembayarannya dapat ditunda sampai ia merasa tenang.
  • Jika seseorang memberi keringanan atau membebaskan utang orang lain, maka ia akan mendapatkan naungan ‘Arsy di hari kiamat.
  • Jika seseorang memberi tenggang waktu pada orang yang berutang, maka setiap hari sebelum batas waktu pelunasan, ia akan dinilai telah bersedekah.
  • Jika seseorang menagih utang, maka ia harus menagih dengan sikap yang lembut penuh maaf.
  • Membayar utang yang dilakukan orang agar dipermudah di akhirat.

Wallahu Akbar

[]

You May Also Like