ARASYNEWS.COM – Surau Atok Ijuak Sicincin atau Masjid Tuo Pauh Sicincin berada di Korong Pauh, Nagari Sicincin, Kecamatan 2 x 11 Enam Lingkung, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Tidak sulit untuk menjumpainya, karena dapat diakses dengan kendaraan roda dua atau empat. Jalannya dalam keadaan baik dan sudah diaspal, sekitar 400 m dari Jalan Raya Padang-Bukitinggi dan Pasar Sicincin. Atau setelah masjid Raya Sicincin
Masjid ini memiliki arsitektur tradisional masih tetap melekat meskipun berusia telah ratusan tahun. Selain masih menggunakan papan dan tanpa paku, juga tiang-tiang yang ada masih tetap menggunakan kayu. Bahkan atapnya juga masih menggunakan ijuk atau serabut pohon enau.
Di Minangkabau sudah jarang ditemukan surau yang memiliki atap ijuk, jika ada itu pun sudah tua dan tidak lagi dipergunakan. Beberapa diantara yang masih kokoh dimanfaatkan adalah Masjid Tuo Kayu Jao, Kabupaten Solok, bentuk bangunan dua tempat ibadah ini mirip.
Dalam informasinya, surau ini telah berumur ratusan tahun yang dibangun secara bergotong royong oleh masyarakat setempat. Ada yang menuliskan sudah berdiri sejak abad ke-15. Namun, ada juga yang menceritakan tahun 1700-an.
Surau ini merupakan cagar budaya yang telah di tetapkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar dengan nomor inventaris 06/BcB-TB/A/13/2007. Surau ini juga telah dipugar tanpa menghilangkan bentuk aslinya pada tahun 2015 lalu.
Surau Atok Ijuak ini memiliki arsitektur yang unik dan khas. Bangunannya dengan lantai berpanggung dan masih menggunakan papan.
Kemudian bagian dinding juga masih menggunakan papan. Ditambah dengan tiang-tiang yang menopang menggunakan kayu. Dan terlihat tidak ada menggunakan paku besi. Rangkanya dipasak satu sama lainnya. Dan pada bagian atap, masih menggunakan ijuk yang berjenjang dengan tiga tingkatan.
Di bagian tengah ruang utama terdapat 1 buah tiang utama (macu) dan 8 buah tiang pendamping yang terletak konsentris di sekitar tiang utama. Di sisi barat terdapat mihrab berdenah persegi panjang dan di sisi timur terdapat teras pintu masuk yang juga berdenah persegi panjang.
Bangunan surau ini berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10×10 meter persegi dan ciri khas bentuk gonjong pada bagian tampak depannya. Terlihat juga ada perpaduan ukiran Minangkabau dan tulisan Arab. Tangga masuk surau terbuat dari beton dengan motif bangunan tangga zaman Belanda. Adapun tangga masuk bangunan terbuat dari mortar.
Saat ini telah ada masjid baru yang lebih luas dan dapat menampung jemaah dalam jumlah besar sehingga dapat digunakan masyarakat sekitar untuk aktivitas keagamaan.
Namun, perannya sebagai surau masih tetap digunakan. Tentunya untuk tempat ibadah dan mengaji. Bahkan ketika bulan Ramadan pun masih digunakan untuk salat Tarawih.
Keberadaan surau ini seakan mengajak kita untuk berpetualangan melewati lorong waktu melihat peradaban Islam yang telah berkembang sedari dulunya di daerah ini.
Surau Atok Ijuak dibangun di tanah yang lebih rendah agar dekat dengan sumber air, karena dahulu jemaah yang akan melaksanakan shalat berwudhu di sungai-sungai (batang air).
Menurut cerita pengurus, Aslimin, surau ini sudah berusia sekitar 500 tahun. Sayangnya, usia tersebut hanya perkiraan, tidak ada bukti inskripsi atau naskah yang dapat memperkuat asumsi beliau.
Beberapa fakta yang dapat dilacak kebenarannya adalah pelaksanaan pemugaran dan penambahan bangunan di kompleks surau Atok Ijuak.
Pemugaran surau secara besar-besaran dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau (BPCB Sumbar) tahun 2015.
Dan pada tahun 2011, Surau Atok Ijuak juga menerima bantuan dari Swiss Labor Agency (SLA) untuk pembangunan kamar mandi dan tempat berwudhu.
Menurut Pak Aslimin, keberadaan surau saat ini adalah untuk pengajian dan qasidah untuk ibu-ibu (majelis ta’lim) yang dilaksanakan sekali tiap minggu. Mereka pun mengaji sendiri, saling menyimak karena memang tidak ada guru yang mau mengajar dengan sukarela. Selain itu juga masih digunakan untuk rapat dan musyawarah warga Nagari Sicincin.
Tradisi dan ritual keagamaan yang sampai sekarang masih dilaksanakan di surau adalah kebiasaan berdzikir sekali tiap tahun, pelaksanaan shalat tarawih, Idul Fitri, dan Idul Adha, serta penyembelihan hewan qurban.
Kebiasaan lain di bulan Ramadhan adalah pengajian sebelum berbuka, saat Maghrib tiba semua berbuka di rumah masing-masing dan kemudian kembali untuk melaksanakan shalat tarawih secara berjama’ah.
Surau Atok Ijuak juga menjadi saksi sejarah penyebaran Islam Syekh Burhanuddin di Sumatera Barat. Syekh Burhanuddin, atau Pono (nama kecilnya), merupakan salah satu ulama besar yang berasal Ulakan, Pariaman.
Syekh Burhanuddin menuntut ilmu agama ke Aceh dan setelah dianggap mampu oleh gurunya, Syekh Ahmad, kemudian diberi wewenang untuk menyebarkan agama Islam di daerah asalnya.
Setelah dari Aceh, Syekh Burhanuddin sempat menginap dan tidur selama satu malam di Surau Atok Ijuak, sebelum meneruskan perjalanan ke Ulakan.
Keunikan lain yang dahulu pernah ada di Surau Atok Ijuak adalah tradisi sholat ampek puluah. Shalat ini merupakan shalat wajib lima waktu yang dilakukan di surau selama 40 hari tanpa terputus. Tradisi ini biasanya dilakukan oleh orang-orang tua yang berusia 75 tahun keatas.
Shalat empat puluh dipercaya sebagai pem’badal’ haji (haji pengganti, karena belum mampu ke tanah suci) dan sebagai upaya qadha shalat wajib lain yang terlewat sebelum-sebelumnya. Mengingat ramainya kegiatan keagamaan di surau ini, dulu juga banyak Al-Qur’an lama tulisan tangan dengan tinta merah, tetapi sayang sekarang sudah hilang semua karena dicuri.
Peninggalan lainnya yang dapat dilihat di surau ini adalah keberadaan jam kuno yang harus diputar (diengkol).
Keistimewaan lain Surau Atok Ijuak yakni menjadi salah satu tempat syuting film Tuanku Imam Bonjol sekitar tahun 2007, sebelum surau dipugar. Keberadaan Surau Atok Ijuak ini diharapkan dapat menjadi penyemangat kita untuk membantu melestarikan dan merawat tempat ibadah sebagai wadah menyiarkan agama Islam. []
Source. Website Kabupaten Padang Pariaman dan BPCB Batusangkar