
ARASYNEWS.COM – Masjid ini berdiri diantara perbukitan yang menjadi salah satu saksi peradaban Islam di Sumatera Barat. Diperkirakan berdiri sejak abad ke-18.
Berdirinya bangunan masjid ini ada kisah legenda hingga misteri dibaliknya yang diwariskan oleh masyarakat turun temurun.
Pembangunan masjid ini dilakukan secara gotong royong oleh 60 leluhur yang berasal dari nagari tersebut. Dan diduga ada sosok-sosok entitas gaib yang turut serta dalam pembangunannya yang menyumbangkan tenaga dan keahlian. Pada saat itu belum ada alat atau teknologi untuk mendirikan bangunan.
Kisah lainnya yang dikaitkan adalah kecelakaan kerja yang terjadi saat pembangunan masjid. Dan ini dikaitkan dengan pertanda alam, keseimbangan alam nyata dengan alam gaib. Angka “60 Kurang Aso” pun kemudian dimaknai sebagai simbol dan peringatan akan pentingnya menjaga keharmonisan dengan alam semesta.
Hal lainnya yang misteri adalah jumlah tiang pada bangunan masjid ini. Jumlah sebenarnya dirahasiakan oleh pendiri masjid.
Masyarakat percaya bahwa jika seseorang menghitung jumlah tiang tersebut dan mencatat angka yang sebenarnya, maka mereka akan mendapatkan “ungkapan” atau “pengetahuan” yang tidak seharusnya dimiliki oleh orang biasa. Hal ini diyakini dapat mendatangkan bencana atau kesialan.
Oleh karena itu, banyak yang memilih untuk tidak menghitung tiang, dan jika ada yang ingin menghitung, biasanya dia akan melakukannya secara sembunyi-sembunyi.
Namun ada juga yang mengatakan bahwa jumlah tiang masjid ini adalah 60 tiang atau tonggak. Namun setiap wisatawan yang mencoba menghitung tidak akan pernah mencapai angka 60, ini sudah menjadi mitos masjid ini.
Selain itu terdapat tiang/tonggak yang paling besar dan konon katanya siapapun yang dapat memeluk sampai jari-jari tangannya saling bertemu maka doa dan keinginannya akan tercapai.
Kisah-kisah mistis ini tak hanya menyuburkan khazanah budaya Minangkabau, tetapi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas masjid ini. Melalui cerita-cerita ini, masyarakat setempat berusaha menghubungkan masa lalu dengan masa kini, sekaligus mengajarkan nilai-nilai luhur seperti gotong royong, kearifan lokal, dan penghormatan terhadap alam.

Masjid 60 Kurang Aso
Masjid tua ini berada di Nagari Pasir Talang, Kecamatan Sungai Pagu, Kabupaten Solok Selatan, provinsi Sumatera Barat. Didirikan sebagai rumah ibadah sejak abad ke-18. Diperkirakan sekitar tahun 1733.
Arsitektur masjid ini memadukan unsur tradisional Minangkabau dengan sentuhan pengaruh Hindu-Jawa.
Bangunan bersejarah ini dikenal dengan nama Masjid 60 Kurang Aso.
Nama “60 Kurang Aso” sendiri menyimpan sebuah teka-teki yang hingga kini belum terpecahkan secara pasti. Tetapi lebih dikaitkan dengan jumlah tiang penyangga masjid ini yang tidak pernah mencapai angka yang tetap.
Setiap kali dihitung, jumlahnya selalu kurang dari 60. Misteri inilah yang kemudian menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung.
Masjid 60 Kurang Aso ini juga memiliki nilai religius yang mendalam bagi masyarakat setempat. Menjadi pusat kegiatan keagamaan dan menjadi tempat berkumpulnya umat Islam untuk melaksanakan ibadah sholat berjamaah, pengajian, dan bermusyawarah hingga pada berbagai kegiatan sosial lainnya.
Dengan segala keunikan dan pesonanya, Masjid 60 Kurang Aso tidak hanya menjadi destinasi wisata religi, tetapi juga menjadi simbol kebanggaan masyarakat Solok Selatan. Keberadaannya mengingatkan kita akan pentingnya melestarikan warisan budaya dan sejarah bangsa.
Jika Anda berkesempatan mengunjungi Sumatera Barat, jangan lewatkan kesempatan untuk mampir di Masjid 60 Kurang Aso. Selain sebagai wisata religi, juga dapat melihat keindahan dan keunikan bangunan dan suasana spiritual yang kental.
Tentang nama “60 Kurang Aso” bukanlah sekedar sebutan belaka, melainkan sebuah refleksi mendalam akan kosmologi dan filosofi kehidupan masyarakat Minangkabau.
Angka 60, dalam konteks ini, bukan sekadar bilangan, melainkan simbolisasi dari suatu kesatuan yang utuh, sebuah lingkaran kehidupan yang sempurna. Namun, embel-embel “Kurang Aso” (kurang satu) seolah mengingatkan kita akan ketidaksempurnaan segala sesuatu di alam semesta.
Filosofi di balik nama unik ini begitu kaya. Angka 60 yang “kurang satu” bukan sekadar kekurangan, melainkan sebuah pengingat akan perjalanan spiritual yang tak berujung.
Ini adalah pengakuan akan keterbatasan manusia dan sekaligus dorongan untuk terus berikhtiar menuju kesempurnaan yang hakiki. Konsep ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya pengembangan diri secara terus-menerus.
Dalam konteks sosial, “60 Kurang Aso” juga mencerminkan nilai gotong royong dan semangat kebersamaan masyarakat Minangkabau.
Angka 60 bisa melambangkan jumlah anggota suatu komunitas. Sementara “kurang satu” menyiratkan adanya dinamika sosial yang selalu berubah. Ini mengingatkan bahwa tidak ada individu yang dapat mencapai kesuksesan tanpa bantuan orang lain, dan bahwa setiap komunitas harus terus beradaptasi dengan perubahan zaman.
Dengan demikian, nama “60 Kurang Aso” bukan hanya sebuah identitas, melainkan sebuah warisan intelektual yang sarat makna.
Nama ini mengingatkan kita untuk merenungkan tentang keberadaan kita di dunia yang sementara ini, serta tentang hubungan kita dengan sesama, dan tentang tujuan hidup yang lebih tinggi.
Masjid ini berukuran 17×17 meter persegi. Ini melambangkan jumlah raka’at sholat sehari semalam. Atap masjid berjenjang seperti perpaduan Minang, Jawa-Hindu, dan Tionghoa. Masjid ini menjadi salah satu dari cagar budaya yang ada di Solok Selatan, Sumatera Barat yang di bawah badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau. []