
ARASYNEWS.COM – Zina, dalam bahasan fikih, berarti perbuatan hubungan seks di luar nikah. Biasanya dilandasi suka sama suka.
Dalam berbagai tafsir Islam, zina ialah perbuatan terlarang atau haram. Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah, Juz 9, menarasikan hukuman bagi pelaku zina dilakukan secara bertahap sebagaimana penetapan khamar. Dimulai teguran resmi yang bernada cercaan (QS An-Nisa:16), lalu kurungan rumah (QS An-Nisa:15), dan baru didera/dicambuk/dipukul atau dilempari batu (rajam). Bila pelakunya belum menikah, ia didera 100 kali (QS An-Nur:2). Dan bila sudah menikah, dia dirajam.
Wahbah Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 7, mengatakan perempuan yang dipaksa berzina padahal ia tidak mau, terbebas dari segala bentuk hukuman zina.
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah menggugurkan dosa dari umatku atas sesuatu perbuatan yang dilakukannya karena khilaf (tidak sengaja), karena lupa, dan karena dipaksa melakukannya.” Ayat dan hadis tersebut dijadikan dasar hukum (hujjah) oleh Ali bin Abi Thalib di hadapan Umar bin Khatab untuk membebaskan seorang perempuan yang dipaksa berzina oleh seorang penggembala demi mendapatkan air minum karena perempuan tersebut sangat kehausan.
Pemerkosaan berbeda dengan zina. Dalam fikih, pemerkosaan disebut sebagai hirabah. Sayyid Sabiq mendefinisikannya sebagai gerombolan yang masuk daerah Islam, menimbulkan kekacauan, pertumpahan darah, mengambil paksa, dan mengoyak kehormatan.
Hukumnya dosa besar (QS Al-Maidah: 33)
إِنَّمَا جَزَٰٓؤُا۟ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسْعَوْنَ فِى ٱلْأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓا۟ أَوْ يُصَلَّبُوٓا۟ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلَٰفٍ أَوْ يُنفَوْا۟ مِنَ ٱلْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْىٌ فِى ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS Al-Maidah: 33)
Syarat hirabah adalah mukallaf (orang yang berakal, lokasi hirabah jauh dari keramaian, tindakan yang dilakukan terang-terangan), dan bersenjata. Sekalipun hanya bersenjata batu, Syafi’i, Malik, Abu Yusuf, pengikut Hambali, Abu Tsaur, dan Ibnu Hazm bersepakat menghukumi hirabah.
Hukuman bagi hirabah sangatlah berat, yakni dibunuh, disalib, tangan dan kaki dipotong secara silang, dan dibuang dari negeri asalnya. Ini dijelaskan dalam Al-Qur’an, QS Al-Maidah:23-43.
Syafi’i dan mazhab Maliki berpendapat pelecehan seksual secara terang-terangan ialah hirabah. Artinya, ia tak berarti harus terjadi penetrasi penis-vagina.
Hirabah punya pengertian lebih luas daripada zina. KH Husein Muhammad dalam Fiqh Perempuan, meng-qiyas-kan pemerkosa seperti muharib (penyerang dalam perang) sehingga harus dihukum berat.
Dari definisi hirabah dan muharib tersebut, jelaslah pemerkosaan merupakan tindakan penyerangan secara terang-terangan terhadap kehormatan (tubuh) perempuan.
Bila perempuan dipaksa berzina terbebas dari segala hukuman (ini adalah hukum internasional) apalagi pembelaan terhadap perempuan korban pemerkosaan, pun sudah nyata.
Alasannya, pemerkosaan bukan kehendak mereka. Mereka pun tidak menanggung dosa sehingga mereka boleh melakukan aborsi.
Islam sangat memperhatikan nasib perempuan. Kedatangan Islam justru mengangkat derajat perempuan.
Al-Qur’an telah mengharamkan hubungan yang saling melecehkan antara manusia (QS Al-Hujurat: 11). Jika pelecehan saja diharamkan Al-Qur’an, apalagi penyerangan dan penghinaan terhadap perempuan.
Perempuan sebagai makhluk mulia ciptaan Allah (QS Al-Isra: 70), memiliki kedudukan setara, sederajat, dengan manusia lainnya (QS Al-Hujurat: 13). []
Source. Tausyiah