Orang yang Telah Wafat Berqurban, Ini Hukum dan Penjelasannya

ARASYNEWS.COM – Puncak hari raya qurban pada tahun ini adalah 17 Juni 2024. Semarak Idul Adha ini selalu dinantikan umat Islam untuk melakukan ibadah haji dan berqurban. Setiap umat Muslim-Muslimah yang berkemampuan dianjurkan untuk berqurban.

Tak hanya untuk orang yang masih hidup, ibadah qurban kerap dilakukan dan diniatkan agar pahalanya mengalir untuk orang yang sudah meninggal. Terkait dengan hal ini, banyak perdebatan di antara kaum muslimin.

Hukum berkurban itu sendiri adalah sunnah muakkad. Tetapi seperti yang disampaikan Rasulullah ﷺ, hukumnya adalah wajib. Hal ini didasarkan kepada sabda beliau, salah satunya adalah yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi

أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ

“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk berqurban, dan hal itu merupakan sunnah bagi kalian” (HR. At-Tirmidzi).

Kesunnahan dalam hal ini adalah sunnah kifayah jika dalam keluarga adalah satu dari mereka telah menjalankan qurban maka gugurlah kesunnahan yang lain, tetapi jika hanya satu orang maka hukumnya adalah sunnah ‘ain, sedang kesunnahan berqurban ini tentunya ditujukan kepada orang muslim yang merdeka, sudah baligh, berakal, dan mampu.

وَالْاُضْحِيَة- ….(سُنَّةٌ) مُؤَكَّدَةٌ فِيحَقِّنَاعَلَى الْكِفَايَةِ إِنْ تَعَدَّدَ أَهْلُ الْبَيْتِ فَإِذَا فَعَلَهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ كَفَى عَنِ الْجَمِيعِ وَإِلَّا فَسُنَّةُ عَيْنٍ وَالْمُخَاطَبُ بِهَا الْمُسْلِمُ اَلْحُرُّ اَلْبَالِغُ اَلْعَاقِلُ اَلْمُسْتَطِيعُ

“Hukum berqurban adalah sunnah muakkad yang bersifat kifayah apabila jumlahnya dalam satu keluarga banyak, maka jika salah satu dari mereka sudah menjalankannya maka sudah mencukupi untuk semuanya jika tidak maka menjadi sunnah ain. Sedangkan mukhatab (orang yang terkena khitab) adalah orang islam yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu” (Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi asy-Syuja’, Bairut-Maktab al-Buhuts wa ad-Dirasat, tt, juz, 2, h. 588)

Berqurban untuk orang yang terdahulu

Menjadi pertanyaan bagi kita, berqurban untuk orang yang terdahulu atau yang telah meninggal dunia

Hal ini biasanya dilakukan oleh pihak keluarganya, karena orang yang telah meninggal dunia sewaktu masih hidup belum pernah berqurban.

Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitab Minhaj ath-Thalibin dengan tegas menyatakan tidak ada qurban untuk orang yang telah meniggal dunia kecuali semasa hidupnya pernah berwasiat.

وَلَا تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ وَلَا عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا

“Tidak sah berqurban untuk orang lain (yang masih hidup) dengan tanpa seijinnya, dan tidak juga untuk orang yang telah meninggal dunia apabila ia tidak berwasiat untuk diqurbani” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, Minhaj ath-Thalibin, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1425 H/2005 M, h. 321)

Sedangkan niat orang terdahulu yang berqurban mutlak diperlukan. Namun ada pandangan lain yang menyatakan kebolehan berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia sebagaimana dikemukakan oleh Abu al-Hasan al-Abbadi.

Alasan pandangan ini adalah bahwa berqurban termasuk sedekah, sedangkan bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia adalah sah dan bisa memberikan kebaikan kepadanya, serta pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.

لَوْ ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ بِغَيْرِإذْنِهِ لَمْ يَقَعْ عَنْهُ (وَأَمَّا) التَّضْحِيَةُ عَنْ الْمَيِّتِ فَقَدْ أَطْلَقَ أَبُوالْحَسَنِ الْعَبَّادِيُّ جَوَازَهَا لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَةُ تَصِحُّ عَنْ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُ هُوَتَصِلُ إلَيْهِ بِالْإِجْمَاعِ

“Seandainya seseorang berqurban untuk orang lain tanpa seizinnya maka tidak bisa. Adapun berqurban untuk orang yang sudah meninggal dunia maka Abu al-Hasan al-Abbadi memperbolehkannya secara mutlak karena termasuk sedekah, sedang sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sah, bermanfaat untuknya, dan pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana ketetapan ijma` para ulama” (Lihat Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 8, h. 406)

Dikutip dari laman NU dan Muhammadiyah, qurban atas nama orang yang sudah meninggal tidak masyru’ atau tidak diperbolehkan.

Tapi dari mazhab Syafi’i sendiri pandangan yang pertama dianggap sebagai pandangan yang lebih sahih (ashah) dan dianut mayoritas ulama dari kalangan mazhab syafi’i. Kendati pandangan yang kedua tidak menjadi pandangan mayoritas ulama mazhab syafi’i, namun pandangan kedua didukung oleh mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali.

Hal ini sebagaimana yang dituliskan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah.

إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا لِذَلِكَ جَازَ بِالاِتِّفَاقِ. فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ إِنْفَاذُ ذَلِكَ. أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَافَأَرَادَ الْوَارِثُ أَوْ غَيْرُهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْهُ مِنْ مَال نَفْسِهِ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ التَّضْحِيَةِ عَنْهُ، إِلاَّ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ أَجَازُوا ذَلِكَ مَعَ الْكَرَاهَةِ. وَإِنَّمَا أَجَازُوهُ لِأَنَّ الْمَوْتَ لاَ يَمْنَعُ التَّقَرُّبَ عَنِ الْمَيِّتِ كَمَا فِي الصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ

“Adapun jika (orang yang telah meninggal dunia) belum pernah berwasiat untuk dikurbani kemudian ahli waris atau orang lain mengurbani orang yang telah meninggal dunia tersebut dari hartanya sendiri maka mazhab hanafii, maliki, dan hanbali memperbolehkannya. Hanya saja menurut mazhab maliki boleh tetapi makruh. Alasan mereka adalah karena kematian tidak bisa menghalangi orang yang meninggal dunia untuk ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana dalam sedekah dan ibadah haji” (Lihat, Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah-Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah, Bairut-Dar as-Salasil, juz, 5, h. 106-107)

Selain itu, dari QS. An-Najm ayat 38-39 menyebutkan bahwa

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ

allā taziru wāziratuw wizra ukhrā

Artinya: “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS. An-Najm ayat 38)

وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ

Artinya: “dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An-Najm ayat 39)

Dijelaskan apabila nazar belum ditunaikan sama saja dengan utang yang belum dibayar. Oleh karena itu, berdasarkan hadits Nabi Muhammad ﷺ yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Ibn Abbas menegaskan, memenuhi nazar sama dengan membayar utang.

“Nazar berbuat kebaikan, menaati perintah Allah, menunaikan perintah Allah, hukumnya sah dan harus dilaksanakan. Sebaliknya, nazar untuk mengerjakan kemaksiatan, melakukan perbuatan yang dilarang Allah, harus ditinggalkan dan tidak boleh dilaksanakan,” dikutip dari Muhammadiyah, Jum’at (14/6/2024)

Berdasarkan yang disampaikan dari Aisyah, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa bernazar akan menaati Allah (menunaikan yang baik yang dipeintahkan oleh Allah) hendaklah ia tunaikan, dan barangsiapa bernazar akan mengerjakan maksiat (perbuatan buruk yang dilarang Allah) maka janganlah ia Kerjakan,” (HR. Al-Bukhari).

Dengan begitu, jika orang bernazar untuk melaksanakan ibadah qurban akan tetapi tidak sampai karena tutup usia, maka diperbolehkan untuk dipenuhi.

Secara logis, jika sudah tidak bernyawa memang tidak bisa berqurban, maka lazimnya qurban ini dilakukan oleh keluarganya sepanjang memiliki kemampuan.

Jadi, kesimpulannya, jika ingin berqurban untuk orang tua yang telah meninggal dunia, maka berarti mengikuti pendapat ulama yang kedua, seperti yang telah dijelaskan. Bahwa berqurban dalam hal ini dimaksudkan sebagai sedekah, sedangkan bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia adalah sah dan bisa memberikan kebaikan kepadanya, serta pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.

Wallahu alam.

[]

You May Also Like