
ARASYNEWS.COM – Kaum Hawa atau wanita keberadaannya di muka bumi dimuliakan dalam Islam. Salah satunya yang dimuliakan adalah tentang aurat.
Wanita penting menjaga diri dan menutup auratnya agar mudah dikenali dan terhindar dari hal-hal yang tidak baik atau mencelakai mereka.
Selain itu juga agar kita saling mengingatkan bersama agar diberi perlindungan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dikutip dari muslimgoid, diterangkan tentang batasan aurat wanita dihadapan mahram, non mahram, dan suami.
Aurat Wanita Muslimah di Depan Mahram dan Non Mahram
Maksud dari mahram di sini adalah mahram muabbad, yaitu laki-laki yang haram menikah dengan wanita selama-lamanya. Maka laki-laki non mahram adalah setiap laki-laki yang memungkinkan menikah dengan sang wanita.
Ada batasan aurat yang wajib dijaga selama tidak terjadi ikatan pernikahan di antara mereka.
Aurat wanita muslimah di depan laki-laki non mahram, menurut jumhur ulama adalah seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangan.
Di antara yang berpendapat demikian adalah Imam Malik, salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan Pendapat yang Masyhur di dalam mazhab Asy-Syafi’i.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوْ نِسَآئِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفْلِ ٱلَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا۟ عَلَىٰ عَوْرَٰتِ ٱلنِّسَآءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31)
Ibnu Abbas menafsirkan, maksud dari yang biasa nampak itu adalah wajah dan kedua telapak tangan. Kemudian ketika wanita berihram, nabi mengharamkan mereka menutup wajah dan telapak tangannya. Kalau wajah dan telapak tangan bagian dari aurat, tentu nabi tidak melarang menutupinya melainkan memerintahkan untuk ditutup.
Kemudian juga terkait kenapa tidak memasukkan wajah dan telapak tangan bagian dari aurat karena hajat, karena dari wajah seseorang dapat dikenali dan kedua telapak tangan ini berperan penting ketika wanita bermuamalah, dalam jual beli, dalam muamalah sosial, ketika mengambil atau memberikan sesuatu, sehingga dia dimaklumi dan dianggap bagian yang biasa nampak.
Dalil jumhur ulama, dari Aisyah radhiyallahu‘anha bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Asma’, bila seorang wanita sudah mendapat haidh maka dia tidak boleh terlihat kecuali ini dan ini”. Lalu beliau SAW menunjuk kepada wajah dan kedua tapak tangannya”. (HR. Abu Daud).
Meskipun wajah wanita menurut wanita muslimah bukan termasuk aurat, yang dia boleh saja dibuka, bukan berarti dibolehkan memandang wajah wanita kecuali untuk suatu hajat. Sebagaimana di awal surah An-Nur ayat 31 di atas, ada perintah untuk laki-laki ataupun wanita menundukkan pandangan mereka dari lawan jenisnya atau laki-laki ajnabi.
Pendapat kedua merupakan pendapat dari Abu Hanifah, Ats-Tsaurid dan al-Muzanni, bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah, telapak tangan dan kaki. Ketiga anggota tubuh tersebut menurut mereka adalah bagian yang sering terlihat atau biasa nampak dari wanita. Sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat:
“Janganlah mereka memperlihatkan perhiasan (aurat) mereka, kecuali yang biasa nampak”. (QS. An-Nur: 31)
Pendapat ketiga ini berbeda dengan pendapat di atas, yaitu menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita aurat. Sebagaimana yang diriwayatkan dari al-Mawardi dan al-Mutawalli dari Abu Bakar bin Abdurrahman at-Tabi’i.
Salah satu pendapat dari Imam Ahmad beliau menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita juga aurat kecuali bagian wajahnya.
Mahram sebagaimana disebutkan di atas adalah mereka yang haram menikah dengan wanita selama-lamanya, baik karena di antara keduanya ada hubungan nasab, atau pernikahan atau persusuan sebagaimana yang disebutkan dalam surah An-Nisa ayat 23.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَٰتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَٰتُكُمْ وَعَمَّٰتُكُمْ وَخَٰلَٰتُكُمْ وَبَنَاتُ ٱلْأَخِ وَبَنَاتُ ٱلْأُخْتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِىٓ أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِى فِى حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِى دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا۟ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَٰٓئِلُ أَبْنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنْ أَصْلَٰبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا۟ بَيْنَ ٱلْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa:23)
Antara wanita dengan mahramnya ini Islam memberikan kelonggaran terkait aurat. Keempat madzhab fiqih sepakat boleh terlihat rambut, boleh terlihat kaki, tidak sebatas wajah dan tangannya saja yang boleh terlihat. Dan masing-masing mereka punya batasan tersendiri terkait aurat wanita muslimah di depan mahramnya.
Terkait aurat wanita di depan mahramnya, dalam madzhab Hanafi ini ada terjadi perbedaan pendapat, di mana sebagiannya menyamakan aurat wanita muslimah di depan mahramnya seperti auratnya seorang laki-laki dengan laki-laki lainnya, yaitu hanya antara pusar dan lutut. Selain antara keduanya itu semuanya boleh terlihat.
Sementara sebagian lainnya menyatakan bahwa yang boleh terlihat dari wanita di depan mahramnya hanya bagian-bagian yang biasa nampak dan dipakaikan perhiasan, yaitu seperti kepala, leher, dada, lengan, betis dan kaki. Selainnya seperti perut, paha, punggung itu bukan bagian yang biasa nampak dan dipakaikan perhiasan, sehingga tidak boleh terlihat.
Pendapat kedua ini berdasarkan firman Allah:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera–putera mereka, atau putera–putera suami mereka, atau saudarasaudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka…(QS. An-Nur: 31)
Makna dari menampakkan perhiasan itu adalah tempat yang di sana dipakaikan perhiasan. Maka semua anggota tubuh yang biasa wanita pakaikan perhiasan disana, maka boleh terlihat bagian-bagian tersebut oleh mahramnya.
Aurat Wanita Di Depan Suami
Terkait apakah ada batasan aurat wanita di depan suaminya sendiri, maka tidak ada terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama empat madzhab, bahwasanya diperbolehkan bagi suami melihat seluruh tubuh istrinya tanpa kecuali begitu juga menyentuhnya. Antara keduanya tidak ada batasan batasan aurat tidak berlaku antara seorang wanita dengan suaminya.
Berdasarkan firman Allah SWT di dalam Al-Quran:
وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَٰفِظُونَ
إِلَّا عَلَىٰٓ أَزْوَٰجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
فَمَنِ ٱبْتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْعَادُونَ
Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya (5), kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela. (6) Tetapi barang siapa mencari di balik itu (zina, dan sebagainya), maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.(7)” (QS. Al-Mu’minun: 5-7)
Dalil lainnya adalah:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَٱلْـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبْتَغُوا۟ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:187)
Lafadz libasun lakum dimaknai oleh para mufassir bahwa tubuh suami menjadi pakaian buat istrinya, sehingga di hadapan suaminya, dan sebaliknya wanita adalah pakaian buat suaminya. Antara pakaian dan aurat yang ditutupi tidak ada batasan atau jarak melainnya pakaian itu sendiri kiasan dari suami yang berfungsi sebagai pakaian, yang menutupi aurat wanitanya. Sehingga antara keduanya tidak ada batasan.
Tidak adanya batasan aurat antara suami istri dikuatkan dengan hadits nabawi. Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan istrinya, Aisyah radhiyallahuanha, ketika mereka mandi berdua. Hal itu diriwayatkan oleh Aisyah dalam hadits berikut ini :
“Aku pernah mandi bersama Nabi SAW dari satu wadah dan satu gayung. (HR. Bukhari dan Muslim)”
“Dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kekaknya bertanya,”Ya Rasulallah, tentang aurat kami, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh?”. Rasulullah SAW menjawab,”Tutuplah auratmu kecuali kepada istrimu dan budakmu”. (HR. Tirmizy)
Kendati boleh bagi suami melihat keseluruh tubuh istrinya tanpa batas, hanya saja mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah memakruhkan suami melihat langsung ke kemaluan istrinya atau sebaliknya, begitu juga Al-Hanafiyah mereka berpendapat bagian dari adab suami istri untuk tidak melihat secara langsung kemaluan masingmasing.
Dasar dari makruhnya atau kurang beradabnya melihat kemaluan istri atau suami adalah hadits berikut ini : “Bila kamu melakukan hubungan badan dengan istrimu maka gunakanlah penutup, janganlah telanjang bulat. (HR.Ibnu Majah).
[]