
ARASYNEWS.COM – Koalisi yang terdiri dari ICW, YLBHI, Lpkataru dan Lapor Covid-19 menilai aturan yang diterbitkan pemerintah terkait vaksinasi ini seakan memberatkan dan memaksakan. Pasalnya masyarakat diharuskan lakukan vaksinasi agar bisa mendapatkan bantuan sosial atau bansos.
Selain itu, masyarakat juga tidak dapat mengurus dokumen jika tidak melampirkan surat sudah divaksin.
Buka hanya itu saja, aturan vaksin ini juga masih untuk golongan masyarakat tertentu, yakni yang berusia diatas 18 tahun.
“Aturan yang seperti ini jelas diskriminasi bagaimana mungkin kebijakan mendasar yang diberikan kepada setiap warga harus dibatasi oleh vaksin yang mana gak ada kewajiban di dalamnya Karena vaksin itu sifatnya pilihan bukan kewajiban,” kata Aditya Bagus Santoso, SH yang sempat menjabat sebagai ketua YLBHI Pekanbaru, pada Rabu (9/6/2021).
Ia menyayangkan adanya pembatasan HAM yang dilakukan oleh negara untuk memastikan kepentingan masyarakat yang lebih luas harus diatur melalui Undang-undang menurut UUD 1945. Namun sayangnya pembatasan HAM ini hanya diatur melalui Peraturan Presiden yang bukan aturan yang setingkat dengan Undang-undang.
Lanjut Aditya, pengenaan sanksi dalam aturan harus dipahami sebagai upaya yang tidak akan melanggar Hak Asasi Manusia. Pengenaan sanksi dalam Kesehatan Publik tidaklah dapat berupa sanksi pidana dan harus bersifat proporsional.
“Jika membaca Perpres tersebut, memang tidak dicantumkan sanksi pidana, namun sanksi pidananya ditautkan dengan ketentuan dalam UU wabah penyakit menular. Sehingga, hal ini sama saja membuka peluang bagi aparat penegak hukum dalam memberikan sanksi pidana kepada mereka yang menolak untuk divaksin,” terang dia.
“Sanksi administrasi yang diatur dalam Perpres 14/2021 juga perlu dikritisi khususnya penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial. Karena pada dasarnya pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial merupakan hak bagi setiap masyarakat dan tidak bisa dibatasi karena tidak mengikuti vaksinasi Covid-19,” terangnya.

Untuk diketahui, Perpres Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 yang ditetapkan pada 9 Februari 2021 telah mengubah dan menambah beberapa ketentuan dalam Perpres sebelumnya dan salah satunya adalah Pasal 13A dan 13B.
Pasal-pasal tersebut mengatur pendataan, penetapan sasaran penerima Vaksin Covid-19 dan kewajiban mengikuti Vaksinasi Covid-19 serta ketentuan sanksi administratif jika penerima vaksin yang sudah ditentukan tidak mengikuti vaksinasi tersebut.
Pengenaan sanksi yang diatur dalam Pasal 13A ayat (4) tersebut adalah penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial, penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan dan/atau denda.
Dan Pasal 13B menekankan bagi orang yang tidak mengikuti Vaksinasi Covid-19, tidak hanya mendapatkan sanksi administrasi tetapi juga ketentuan sanksi sesuai dengan ketentuan undang-undang tentang wabah penyakit menular yang mana salah satunya adalah sanksi pidana sebagaimana dalam Pasal 14 dan 15 UU Wabah Penyakit Menular.
“Penolakan atas vaksinasi tidak mesti dipahami sebagai bentuk penolakan kebijakan pemerintah semata, karena masih ada alasan kenapa seseorang menolak divaksin seperti masih sedikitnya pilihan atas vaksin dan masih banyaknya keraguan atas merek vaksin tertentu. Sehingga di saat masyarakat yang akan divaksin tidak punya pilihan lain, maka penolakan untuk divaksin merupakan suatu hak mendasar yang diatur menurut UUD 1945 dan UU Kesehatan dimana setiap orang berhak untuk menentukan secara mandiri mengenai jenis layanan dan penanganan Kesehatan sesuai dengan kehendak sendiri,” terang Aditya.
Maka, atas permasalahan tersebut, pihaknya mendesak agar Pemerintah Pusat mencabut Perpres Nomor 14 Tahun 2021 dan menginisiasi aturan setingkat UU untuk memastikan adanya pembatasan HAM dalam hal Kesehatan publik; Pemerintah Pusat segera mencabut aturan sanksi dalam pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 jika belum memastikan masyarakat mampu secara mandiri memilih vaksin yang tepat bagi dirinya sesuai dengan UUD 1945 dan UU Kesehatan; Tidak memaksakan ketentuan pidana dalam UU Wabah Penyakit Menular kepada pihak yang menolak Vaksinasi Covid-19 karena bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Kesehatan. []